Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menepis beberapa isi petitum praperadilan bekas Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi. Berbekal keterangan itu, diharap hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan praperadilan yang diajukan tersangka korupsi dana hibah Kemenpora untuk KONI itu.
“Diharap hakim menolak permohonan praperadilan nomor perkara 130/Pid.Pra/2019/PN.JKT.SEL atau setidaknya menyatakan tidak dapat diterima,” kata anggota Biro Hukum KPK, Natalia Kristanto, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (5/11).
Seperti diketahui, dalam petitum praperadilannya, Imam Nahrawi merasa tidak terima penetapan tersangka atas dirinya yang dilakukan oleh KPK. Sebab, penetapan tersangka itu dianggap menyalhi prosedur karena KPK tidak terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan terhadap dirinya sebagai calon tersangka.
Selain itu, Imam juga merasa tidak terima dengan penerbitan surat perintah dimulainya penyidikan (Sprindik) pada 28 Agustus 2019 lantaran KPK belum pernah melakukan pemeriksaan sebelumnya.
Dalam nota tanggapannya, Natalia menyampaikan, penerbitan Sprindik oleh KPK kepada Imam Nahrawi didasari atas temuan bukti permulaan awal, sehingga pihaknya menaikkan status penanganan perkara Imam ke tahap penyidikan.
Selain itu, Natalia juga menampik anggapan Imam terkait tidak adanya pemeriksaan calon tersangka. Terkait hal itu, dia menegaskan, KPK telah memanggil mantan politikus PKB itu sebanyak tiga kali saat proses penyelidikan. Namun, ketiga panggilan pemeriksaan itu tidak diindahkan oleh Imam Nahrawi.
"Jadi, ketika kemudian memeriksa calon tersangka di penyelidikan, ya memang tidak (dilakukan). Tetapi kita sudah ada upaya untuk memanggil yang bersangkutan. Tetapi memang kemauan (Imam Nahrawi) sendiri yang kemudian tidak mengindahkan panggilan dari kami," ujar Natalia.
Selain itu, Natalia juga menanggapi permohonan Imam terkait tidak sahnya penahanan yang dilakukan KPK lantaran tiga pimpinan komisi antirasuah itu telah menyerahkan mandat pemberantasan korupsi ke Presiden Joko Widodo pada 13 septemer 2019.
Namun, menurut dia, penyerahan mandat tiga pimpinan lembaga antirasuah itu bukan suatu bentuk pernyataan mengundurkan dari jabatan komisioner KPK. Terlebih, penyerahan mandat itu juga tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Natalia kemudian membandingkan dengan mundurnya dua pimpinan KPK sebelumnya yakni Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Kedua mantan pimpinan KPK itu, menyatakan mundur lantaran tersandung kasus pidana. Terlebih, presiden ketika itu bereaksi menerbitkan Keputusan Presiden soal pengunduran diri tersebut.
"Artinya presiden sendiri menganggap bahwa pengembalian mandat itu bukan sesuatu hal yang dikenal secara hukum. Artinya, secara hukum yuridis tetap konsekuensinya bahwa lima orang pimpinan yang masih duduk di KPK ini masih mempunyai kewenangan yang melekat sebagaimana telah diatur dalam UU," ucap Natalia.