Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan dua tersangka pada kasus dugaan korupsi terkait proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya Persero 2018-2020. PT Amarta Karya atau biasa disingkat menjadi AMKA adalah salah satu badan usaha milik negara Indonesia yang bergerak di bidang konstruksi. Selain kantor pusat dan pabrik jembatan di Bekasi, perusahaan ini juga memiliki pabrik jembatan di Semarang.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengungkapkan, kedua tersangka merupakan mantan petinggi PT Amarta Karya Persero. Mereka adalah mantan Direktur Utama PT Amarta Karya Catur Prabowo, dan mantan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna.
"Ditemukan pula adanya kecukupan alat bukti untuk dinaikkan pada tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan dua pihak sebagai tersangka," kata Johanis dalam konferensi pers di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Kamis (11/5).
Untuk kebutuhan proses penyidikan, Trisna bakal mendekam di cabang rumah tahanan (Rutan) KPK pada Markas Komando Puspomal Jakarta Utara. Trisna ditahan selama 20 hari pertama, terhitung sejak 11 Mei sampai dengan 30 Mei 2023.
Sementara itu, Catur mangkir dari pemeriksaan penyidik. Sehingga, Dirut PT Amarta Karya periode 2017-2020 tersebut saat ini belum ditahan.
"KPK mengingatkan tersangka CP agar hadir di penjadwalan pemanggilan berikutnya dari tim penyidik," ujar Johanis.
Kasus ini bermula pada sekitar 2017. Saat itu, Catur yang menjabat dirut memberikan perintah kepada Trisna dan pejabat bagian akuntansi PT Amarta Karya. Mereka diminta mempersiapkan sejumlah uang yang diperuntukkan bagi kebutuhan pribadi Catur.
Guna merealisasikan perintah tersebut, nantinya sumber uang diambil dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya. Trisna bersama sejumlah staf PT Amarta Karya lantas mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV.
"Yang digunakan menerima pembayaran subkontraktor dari PT AK Persero, tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya (fiktif)," tutur Johanis.
Kemudian, beberapa badan usaha CV fiktif terbentuk pada 2018. Perusahaan fiktif ini bergerak sebagai vendor yang akan menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Hal ini dilakukan atas sepengetahuan Catur dan Trisna.
Untuk pengajuan anggaran pembayaran vendor, lanjut Johanis, Catur selalu memberikan disposisi yang berbunyi 'lanjutkan'. Disposisi itu dibarengi persetujuan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditandatangani Trisna.
Dokumen keuangan di perusahaan fiktif tersebut, seperti buku rekening bank, kartu ATM, dan bongol cek dipegang oleh staf bagian akuntansi PT Amarta Karya. Pihak tersebut merupakan orang kepercayaan Catur dan Trisna.
"Agar memudahkan pengambilan dan pencairan uang sesuai dengan permintaan tersangka CP," tutur Johanis.
Diduga kerugian keuangan negara capai Rp46 miliar
Johanis menuturkan, diduga ada sekitar 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya yang dikerjakan melalui subkontraktor fiktif oleh Catur dan Trisna. Misalnya, pekerjaan konstruksi pembangunan Rumah Susun Pulo Jahe, Jakarta Timur.
Kemudian, pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Lalu, proyek pembangunan laboratorium Bio Safety Level 3 Universitas Padjajaran.
"Uang yang diterima tersangka CP dan tersangka TS kemudian diduga antara lain digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf, dan juga pemberian ke beberapa pihak terkait lainnya," kata Johanis.
Praktik korup yang dilakukan Catur dan Trisna diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp46 miliar. Saat ini, penyidik masih terus menelusuri adanya penerimaan uang maupun aliran sejumlah uang ke berbagai pihak terkait lainnya.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.