Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak gugatan administratif yang dilayangkan Kompol Rossa Purbo Bekti atas pengembalian ke Polri. Firli Cs menganggap, gugatan penyidik yang menangani kasus dugaan suap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan itu tidak tepat.
"Pada prinsipnya berisi keberatan dari Mas Rossa tersebut tidak dapat diterima, karena salah alamat," kata Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (24/2).
Dalam pertimbangannya, Rossa merupakan anggota aktif Korps Bhayangkara yang dipekerjakan di KPK. "Maka, secara hukum kepegawaian dan pembinaan karirnya masih melekat dan tetap tunduk kepada sistem kepegawaian anggota Polri," tutur Fikri.
Fikri mengaku, KPK siap jika Rossa mengajukan gugatan administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). KPK akan menghormati setiap upaya yang dilakukan Rossa.
"Tentunya kami menghormati. Kami ikuti prosedur dan proses itu," ucapnya.
Sebelumnya, Kompol Rossa Purbo Bekti melayangkan gugatan administratif ke Firli Cs atas tindakan pengembalian dirinya ke Polri pada 14 Februari 2020. Langkah itu diambil lantaran proses adiministratif pengembalian dinilai janggal.
Padahal Polri sudah meralat keputusan untuk mengembalikan Rossa dari KPK. Hal itu diutarakan melalui surat tertanggal 21 Januari 2020 yang diteken Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono. Surat itu menegaskan pembatalan penarikan dilakukan, lantaran masa bakti Rossa bekerja di KPK masih terhitung panjang yakni, hingga September 2020.
Polri juga mengirim surat pembatalan penarikan itu pada 29 Januari 2020. Lembaga yang gawangi Idham Azis itu memilih agar Rossa mengabdi di KPK hingga masa baktinya habis. Surat itu, langsung dikirim ke lima Komisioner KPK.
Alhasil, status pekerja Rossa menjadi tidak jelas. Fikri menampik, KPK lepas tanggung jawab atas penolakan gugatan administratif tersebut. Dia mengklaim, proses administratif pengembalian tersebut sudah sesuai.
"Memang, mekanisme surat (pengembalian) ini sudah jelas. Urutannya sudah jelas. Tetapi kemudian, ada mekanisme keberatan, banding. Itu ada hak yang dilakukan. Nah itu kita tunggu proses itu," ujar Fikri.