Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan ultimatum kepada Komisaris PT Wisata Bahagia Indonesia (WBI) Lie Lindawati, agar bersikap kooperatif terhadap panggilan pemeriksaan. KPK berupaya memanggil Lie untuk diperiksa terkait kasus suap penyalahgunaan izin tinggal turis di Lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat Tahun 2019.
Lie mangkir dalam panggilan pemeriksaan pertama pada 20 Juni 2019. Kala itu, dia meminta untuk dijadwalkan pemeriksaan ulang pada 1 Juli 2019, namun kembali tidak memenuhi panggilan tersebut.
Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya telah menjadwalkan pemeriksaan ulang terhadap Lie. Untuk itu, dia meminta petinggi PT WBI dapat memenuhi panggilan pemeriksaan, setelah kali ketiga pihaknya mengirimkan surat penggilan.
"Tim akan melakukan pemanggilan kepada Lie Lindawati, Komisaris PT Wisata Bahagia, terkait penyalahgunan izin tinggal untuk warga negara asing di NTB pada Jumat, 2 Agustus mendatang," ujar Febri, di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (30/7).
Menurutnya, sebagai warga negara yang bijak, Lie memiliki kewajiban untuk memenuhi panggilan pemeriksaan dari aparat penegak hukum. Hal itu ditujukan untuk membantu proses penanganan hukum yang sedang dilakukan oleh KPK.
"KPK mengimbau saksi untuk hadir sesuai dengan tanggal pemanggilan, untuk memberikan keterangan sebagai saksi terkait kasus suap izin tinggal di lingkungan kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2019," ujar Febri.
Juru bicara KPK juga mengatakan, pihaknya telah memeriksa anak buah Lie, yakni Tim Teknis PT WBI, Ida Bagus Gede Suberata. Dari Ida, tim penyidik mendalami proses penyerahan uang dari PT WBI ke Imigrasi Nusa Tenggara Barat.
"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait penyerahan uang dari PT WBI ke Pihak Imigrasi Nusa Tenggara Barat," ujar Febri.
KPK telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Mataram Kurniadie, Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin dan Direktur PT Wisata Bahagia Liliana Hidayat.
KPK menduga tersangka Kurniadie dan Yusriansyah menerima suap sebesar Rp1,2 miliar untuk mengurus perkara dugaan penyalahgunaan izin tinggal dua WNA atau turis. Uang tersebut diberikan dari Liliana selaku manajemen Wyndham Sundancer Lombok, untuk mengurus perkara dua WNA yang disalahgunakan.
KPK menyebut, ketiga orang tersangka itu telah menggunakan modus baru dalam melakukan praktik negosiasi untuk melalukan tindakan suap. Pasalnya, dalam melakukan penawaran, tersangka Liliana menuliskan jumlah nilai uang tersebut menggunakan media kertas dan dengan kode tertentu kepada Yusriansyah.
Metode penyerahan uang pun dilakukan dengan cara tak lazim. Pasalnya, tersangka Liliana memasukkan uang Rp1,2 miliar yang telah disepakati itu ke dalam kantong plastik hitam, yang kemudian dimasukkan ke dalam tas.
Selanjutnya, tas berisikan uang suap itu dimasukkan ke dalam tempat sampah di depan ruangan Yusriansyah. Kemudian Yusriansyah mengintruksikan salah satu stafnya untuk mengambil tas tersebut dan menyerahkan Rp800 juta kepada Kurniadie.
Penyerahan uang untuk Kurniadie pun dilakukan dengan menggunakan ember bewarna merah. Kemudian, Kurniadie meminta pihak lain untuk menyetorkan uang sebesar Rp340 juta ke rekeningnya. Sisanya, KPK menduga uang tersebut diperuntukan bagi pihak lain.
Sebagai pihak yang diduga memberi suap, Liliana disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara pihak yang diduga menerima suap, Yusriansyah dan Kurniadie disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHP.