Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyebut, tiga jenis korupsi yang erat kaitannya dengan jual beli jabatan. Yaitu, pemerasan, suap, dan gratifikasi. Ia menilai, tindak pidana pemerasan kerap dilakukan penyelenggara negara yang memiliki kesempatan dan kekuasaan. Diperparah dengan rendahnya integritas.
“Sehingga, terjadi tindak pidana korupsi berupa pemerasan, seketika seorang penyelenggara negara, kepala daerah baru saja dilantik, maka mereka akan berpikir, siapa saja yang menjadi tim sukses, dan siapa saja yang bukan tim suksesnya,” ucapnya dalam diskusi virtual, Kamis (16/9).
Tindak pidana pemerasan, kata dia, berawal dari anggapan penyelenggara negara terhadap kelayakan seseorang memegang suatu jabatan.
“Dengan kalimat ‘apakah Anda masih mau bertahan? Memilih jabatan tersebut. Kalau mau bertahan, maka Anda harus membayar sekian, kalau tidak maka harus diganti’. Itulah ada tindak pidana korupsi berupa pemerasan,” tutur Firli.
Terkait tindak pidana suap, kata dia, sudah diatur dalam perundang-undangan. Yaitu, pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberi suap akan diminta pertanggungjawaban dalam Pasal 5 ayat 1 huruf A UU 31/1999. Sedangkan penerima suap diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf B.
“Dikatakan, barang siapa memberi untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangan dan jabatan, maka seseorang yang menghendaki jabatan atau ingin mempertahankan jabatan, maka dia akan memberikan hadiah atau janji yang masuk dalam kategori tindak pidana korupsi berupa penyuapan,” ujar Firli.
Dalam tindak pidana suap, semestinya sudah ditentukan adanya pertemuan antara pemberi dan penerima. Dalam hal ini, pertemuan bukan hanya secara fisik, tetapi juga terkait alam pikir.
Di sisi lain, gratifikasi juga erat kaitannya dengan jual beli jabatan. Sebab, sesungguhnya pemberi gratifikasi menyadari sepenuhnya bahwa penerima erat kaitannya dengan jabatannya. Pemberi gratifikasi juga sadar memberikan sesuatu, karena berkaitan dengan kewenangan dan jabatan yang dimiliki penerima
“Hari ini membuat semua kita prihatin, karena kita tindak pidana jual beli jabatan tidak hanya berlaku kepada pejabat sementara (dicontohkan kasus korupsi Bupati Probolinggo), tetapi merambah mulai dari eselon 4, eselon 3, eselon 2, honorer,” ucapnya.