Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut aliran uang Samin Tan kepada bekas anggota DPR, Eni Maulani Saragih. Pemberian duit diduga terkait perkara dugaan suap yang menyeret bos PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) itu.
Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara bidang Penindakan KPK, Ali Fikri mengatakan, penyidik mendalami aliran uang melalui saksi Kenneth Raymond Allan. Dia turut digali pengetahuannya terkait keberadaan Samin saat buron.
"Yang bersangkutan didalami pengetahuannya terkait dengan dugaan pemberian sejumlah uang oleh tersangka SMT (Samin Tan) kepada Eni Maulani Saragih dan dikonfirmasi juga mengenai keberadaan SMT saat menjadi DPO KPK," ujar Ali, Selasa (13/4).
Sebagai informasi, Samin terseret kasus dugaan suap proses pengurusan terminasi kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup atau AKT di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. PT AKT diterka telah diakuisisi PT BLEM.
Samin masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak April 2020. Pelariannya terhenti pada Senin (5/4). Ali mengatakan, pada Senin (12/4), dua orang sedianya hendak diperiksa sebagai saksi.
Akan tetapi, Direktur PT BLEM, Nenie Afwani, dan karyawan swasta, Andreay Hasudungan Aritonga, mangkir. Menurut Ali, keduanya tak memberikan konfirmasi alasan tidak hadir.
"KPK mengimbau para saksi untuk kooperatif hadir pada panggilan selanjutnya yang akan segera di kirimkan oleh tim penyidik," jelasnya.
Dalam perkaranya, Samin diduga memberi suap kepada eks Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebanyak Rp5 miliar untuk urus terminasi kontrak PKP2B PT AKT. Duit itu disinyalir sebagai fee lantaran Eni telah menyelesaikan permasalahan pemutusan PKP2B Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKT dengan Kementerian ESDM.
Diduga penyerahan uang tersebut dilakukan pada Juni 2018, dari tersangka Samin Tan melalui stafnya kepada tenaga ahli Eni di DPR. Pemberian uang berlangsung dua kali, yakni pada 1 Juni 2018 sebesar Rp4 miliar, dan 22 Juni 2018 sebanyak Rp1 miliar.
Samin disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.