Keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan lima mantan koruptor sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) telah menuai kritik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyayangkan hal tersebut.
Lima eks koruptor yang diloloskan sebagai bacaleg, berasal dari Aceh, Tana Toraja, Sulawesi Utara, Rembang, dan Pare-Pare.
KPU sempat "menjegal" mantan napi korupsi tersebut dengan status tidak memenuhi syarat (TMS) saat pendaftaran awal sebagai bacaleg. Hanya saja, tiga orang mantan koruptor tak terima dengan keputusan KPU dan mengajukan sengketa.
Panitia Pengawas Pemilu (Panwas) atau Bawaslu setempat yaitu Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh, Panwaslu Tana Toraja, dan Bawaslu Sulawesi Utara, akhirnya meloloskan tiga mantan koruptor tersebut. Ini kemudian diikuti oleh dua mantan narapidana lain, yaitu dari Rembang dan Pare-Pare.
"Saya sudah sampaikan tiga kasus pertama itu akan menjadi bola salju, akan membesar terus," kata Komisioner KPU, Wahyu Setiawan di Gedung KPU RI, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Kamis (30/8).
Menurutnya, keputusan Bawaslu memberikan jalan kepada mantan napi korupsi lain yang sebelumnya ditetapkan TMS oleh KPU, untuk mendapatkan kesempatan yang sama menjadi caleg.
Keputusan tersebut, tidak mempertimbangkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang koruptor maju sebagai caleg. Wahyu menganggap sikap ini seolah Bawaslu membatalkan PKPU dengan tidak mentaatinya.
"Bawaslu jangan bertindak seperti Mahkamah Agung (MA) dong, yang berhak membatalkan PKPU kan yang berwenang hanya MA," kata Wahyu.
Karenanya KPU telah mengirimkan surat resmi yang meminta Bawaslu mengoreksi keputusan tersebut. Namun hingga saat ini, Bawaslu masih tak mau merubah pandangan.
Sementara terhadap keputusan Bawaslu di Rembang dan Pare- Pare, KPU sedang melakukan supervisi terlebih dahulu kepada KPU Provinsi, untuk melaporkan kepada KPU pusat terkait hal tersebut.