Tren kriminalitas di era pandemi: Napi berulah, rampok dan maling beraksi
Baru beberapa hari menghirup udara bebas, Joko Triyono kembali merasakan dinginnya pembaringan di "hotel prodeo". Napi yang baru bebas karena program asimilasi dari pemerintah itu kepergok saat berupaya mencuri motor di Jalan Raya Bogor, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (28/4) lalu.
Salah seorang saksi mata, Nugroho mengatakan, Joko kepergok saat hendak mencuri motor milik pengunjung di lapak buah-buahan miliknya. "Tiba-tiba pelaku main duduk aja di atas motor sambil megang-megang kuncinya," kata Nugroho seperti dikutip dari Antara.
Warga sekitar yang mengetahui aksi Joko langsung mengejarnya. Joko pun kabur ke arah sebuah sungai kecil. "Sampai di dekat kali, dia (Joko) lompat dan nyemplung," ujar Nugroho.
Mendapat laporan warga, polisi bergerak cepat menangkap Joko. Saat digeledah, di dalam tas Joko terdapat surat keterangan baru bebas dari Lembaga Permasyarakatan (LP) Depok, Jawa Barat.
Joko tenyata napi yang namanya masuk dalam daftar napi asimilasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) pada April lalu. Joko bersama sekitar 40.000 napi lainnya dikeluarkan dari balik jeruji penjara demi mencegah penyebaran virus Covid-19 di LP.
Joko bukan satu-satunya napi yang kembali berkasus setelah dibebaskan atas nama penanganan Covid-19. Menurut hitungan Polri hingga 18 Mei, tercatat ada 125 napi asimilasi yang kembali ditangkap karena terjerat beragam kasus pindana.
Mayoritas napi yang berulah ditangkap oleh personel Polda Jawa Tengah (17 orang), Polda Sumatera Utara (16), Polda Riau (11), Polda Jawa Barat (11), dan Polda Kalimantan Barat (10). Di polda-polda lain, jumlah napi asimilasi yang ditangkap karena kembali beraksi di bawah 10 orang.
Dari data yang dihimpun Polri, jenis kejahatan yang dominan dilakukan oleh napi asimilisasi adalah pencurian dengan pemberatan (40 kasus), pencurian kendaraan bermotor (16 kasus), pencurian dengan kekerasan (15 kasus), dan narkoba (12 kasus).
Berbasis data itu, Kepala Ops Aman Nusa II Komjen Agus Andrianto mengatakan kebanyakan napi melakukan kejahatan karena motif ekonomi. Mereka, kata dia, kembali beraksi karena tak punya duit dan tak punya pekerjaan.
"Tapi, ada juga (kelompok napi) yang memang tidak bisa diterima oleh lingkungannya setelah kembali," tutur Agus saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Kamis (21/5) lalu.
Menurut catatan Polri, jumlah napi asimilasi mencapai sekitar 36 ribu orang dari total sekitar 40 ribu napi yang dibebaskan selama masa pandemi. Jika dibandingkan dengan jumlah napi asimilasi, Agus mengatakan, jumlah kasus yang melibatkan mereka tidak signifikan.
"Napi asimilasi itu hanya sedikit (yang melakukan kejahatan lagi), kebanyakan justru residivis. Sedangkan, napi asimilasi itu juga banyak yang keluar karena memang masa tahanannya sudah hampir habis," ujar Agus.
Gangguan kamtibmas meningkat
Sebelumnya, mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) sempat mengingatkan situasi keamanan potensial memburuk di masa pandemi Covid-19. Menurut JK, gangguan keamanan bakal marak karena dipicu melonjaknya angka pengangguran dan kemiskinan.
"Virus ini sangat cepat penularannya. Akibatnya, orang tinggal di rumah. Semua tutup dan ekonomi tidak jalan. Kalau banyak yang menganggur, kemiskinan akan merajalela. Maka, bisa terjadi gangguan keamanan berupa pencurian, perampokan, dan penjarahan," ujar JK.
Menurut Agus, Polri memang mencatat kenaikan jumlah gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibnas) pada masa pandemi. Namun demikian, angka kenaikannya tidak terlalu signifikan.
Sebelum pandemi--tepatnya pada periode 27 Januari hingga 5 Maret--tercatat ada 25.433 kasus gangguan kamtibnas. Sedangkan pada masa pandemi, yakni periode 6 Maret hingga 17 April, tercatat ada 26.511 kasus gangguan kamtibnas. Artinya, ada kenaikan jumlah kasus sekitar 4,4%.
Meskipun secara umum jumlah gangguan kamtibmas naik, namun jumlah kejahatan cenderung menurun jika dibandingkan angkanya dari bulan ke bulan. Pada Februari, Polri mencatat jumlah kejahatan sebanyak 22.561 di seluruh Indonesia.
Pada Maret, tercatat hanya ada 19.133 kasus kejahatan. Angkanya turun lagi secara signifikan pada April. Pada bulan itu, Polri hanya mencatat ada sebanyak 15.339 kejahatan. Hingga pekan ketiga Mei, Polri mencatat ada 10.443 kasus kejahatan.
Data Polri menunjukkan kejahatan konvensional yang paling ditangani Polri terjadi pada Februari atau sebelum pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan di berbagai daerah, yakni sebanyak 17.940. Jika dirinci, jenis kejahatan narkotika mendominasi di empat bulan terakhir.
Agus mengatakan berbagai preemptive dan preventif terus dilakukan Polri untuk menekan angka kejahatan. Upaya-upaya itu dilakukan jajaran Polri dengan menggandeng aparat TNI dan pemerintah daerah.
"Kegiatan preemptive seperti pemetaan kerawanan sudah dilakukan, kemudian kegiatan preventif dilakukan dengan meningkatkan patroli di lapangan juga menyekat para pelaku kejahatan sulit bergerak," ujar Agus.
Lebih jauh, Agus meminta agar warga konsisten mengikuti anjuran pemerintah untuk tetap berada di rumah. Langkah itu bakal membantu penurunan angka kejahatan. Pasalnya, para pelaku kejahatan tidak lagi punya target jika semua warga disiplin tetap di rumah.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Permasyarakatan KemenkumHAM Rika Aprianti mengungkapkan kebijakan mengeluarkan sekitar 40 ribu napi telah mulai membuahkan hasil. Menurut dia, kepadatan di lapas-lapas berkurang pada kisaran 25-30%. Padahal, sebelumnya kepadatan di lapas mencapai 106%.
"Paling enggak kita bisa menekan risiko penyebaran Covid-19 di lapas, rutan, dan LPKA (lembaga pembinaan khusus anak)," jelas Rika kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Rabu (21/5) lalu.
Rika tak menampik anggapan bahwa napi asimilasi berpotensi kembali berbuat kejahatan. Namun demikian, ia menegaskan oknum-oknum napi yang kembali berulah bukan gambaran puluhan ribu napi yang dibebaskan KemenkumHAM.
"Mereka dikeluarkan setelah melalui penilaian bahwa yang bersangkutan sudah menunjukan kelakuan baik. Sekali lagi, ini bukan wajah dari seluruh warga binaan. Jangan 125 (napi) men-judge yang 39 ribu (napi lainnya) ini sama kayak mereka," tuturnya.
Pengawasan tak boleh kendor
Berbasis "kesuksesan" pelepasan napi asimilasi sejauh ini, Rika mengungkapkan kemungkinan KemenkumHAM kembali menggelar kebijakan serupa untuk puluhan ribu napi lainnya.
"Kita perkirakan ada 40 ribu-an (bakal kembali dibebaskan). Tapi, sampai setengahnya saya tidak yakin. Ya, mungkin di sekitar 30-40%. Tapi, saya mengatakan ini bukan angka pasti," kata Rika.
Rika mengatakan, Kemenkumham tak melepaskan begitu saja para napi ini. Selain sudah dalam kategori "layak" karena berkelakuan baik selama dibui, para napi juga bakal diawasi secara ketat oleh KemenkuhHAM dan aparat penegak hukum.
Sebelum dilepas, mereka juga diingatkan soal larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban mereka selama menjalani sisa masa hukuman di luar penjara. "Kalau mereka melanggar, bisa dicabut lagi hak asimilasinya dan mereka menjalani lagi masa tahanan di dalam lapas atau rutan," kata Rika.
Lebih jauh, Rika juga meminta masyarakat untuk aktif melaporkan napi asimilasi yang kerap berbuat onar di lingkungan mereka. "Juga dukungan kepercayaan masyarakat kepada mereka (napi). Kalau (napi) dihakimi, itu akan membuat yang sudah baik-baik ini berpotensi mengulangi pidana lagi," kata Rika.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon mengatakan, salah satu faktor para napi asimilasi kembali melakukan kejahatan ialah adanya kesempatan. Namun demikian, hal itu bisa dicegah jika pelaku diawasi dan dijamin kebutuhannya selama masa pandemi.
"Jadi, tidak dilepaskan begitu saja. Ekonominya juga harus dijamin, baik melalui BLT (bantuan langsung tunai) dari pemerintah itu atau bantuan lainnya," kata Josias kepada Alinea.id, Rabu (21/5).
Ia sepakat jumlah napi yang kambuh tak signifikan jika dibandingkan dengan jumlah yang dilepas pemerintah. Meski begitu, Josias mengingatkan agar pemerintah dan aparat keamanan tidak lengah dalam pengawasan.
"Yang menjadi persoalan, beberapa tidak mentaati, kemudian melakukan kejahatan. Nah, saya rasa memang diambil kembali (kembali ditahan), menjalani masa hukuman itu di dalam lapas/rutan, karena sudah dikasih kesempatan kan," jelasnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menginstruksikan para jaksa untuk memproses hukum para napi asimilasi yang kembali bikin onar. Bahkan, ia memerintahkan para jaksa menyusun tuntutan hukum maksimal.
"Kepada seluruh jaksa untuk menuntut secara maksimal terhadap terpidana yang mengulangi atau melakukan tindak pidana selama menjalani program asimilasi," kata Burhanuddin.