Krisis tenaga kesehatan di tengah lonjakan kasus Covid-19
Sejak kasus Covid-19 melonjak tiga minggu terakhir, Risa Oktavia—bukan nama sebenarnya—kerap pulang terlambat ke rumah. Perawat yang bertugas di ruang isolasi pasien Covid-19 di sebuah rumah sakit rujukan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta itu mengaku waktunya amat tersita. Sehari ia bisa bekerja lebih dari 12 jam.
Menurut dia, belakangan rumah sakit tempatnya bekerja sudah tak sanggup lagi menerima pasien Covid-19. Pangkalnya, kapasitas ruang rawat tak sebanding dengan pasien yang masuk. Di ruang isolasi saja, kata Risa, saat ini ada 33 pasien yang dirawat. Sementara kapasitas ruangan itu sebenarnya hanya bisa menampung 30 pasien.
Pasien hanya ditangani 24 perawat, yang terbagi dalam tiga sif. Namun, dalam satu kelompok sif, tak semua perawat dapat masuk ruang isolasi. Dengan begitu, hanya seorang perawat yang menangani lebih dari lima pasien.
“Jumlah idealnya, perawat maksimal hanya menangani tiga pasien,” kata perempuan berusia 32 tahun itu saat dihubungi Alinea.id, Kamis (24/6).
Banyaknya pasien Covid-19 membuat Risa dan koleganya harus lebih lama berjaga di ruang isolasi, mengenakan alat pelindung diri (APD), yang dinilai amat tidak nyaman dipakai.
Akan tambah relawan
Pengalaman Risa merupakan potret timpang jumlah perawat dan pasien Covid-19 di rumah sakit rujukan. Beberapa waktu lalu, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyatakan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur mengalami krisis jumlah tenaga kesehatan.
Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah menerangkan, risiko semakin besarnya terinfeksi Covid-19 juga memicu krisis tenaga kesehatan. “Dampaknya, pelayanan kesehatan akan kolaps. Saya kira akan sulit juga masyarakat dapat pelayanan yang baik,” ujar Harif saat berbincang, Kamis (24/6).
Harif bilang, sejak awal pandemi tahun lalu, sudah ada 6.000 lebih perawat yang terinfeksi Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 318 perawat meninggal dunia. Dari pengamatannya, terjadi lonjakan perawat yang terpapar Covid-19 pada Mei 2021. Setidaknya, kata dia, ada 324 perawat yang terkonfirmasi positif, 24 di antaranya meninggal dunia.
Sementara data dari Lapor Covid-19 menyatakan, per Jumat (25/6) ada 311 perawat yang meninggal dunia akibat terinfeksi Covid-19. Selain itu, tenaga kesehatan lainnya yang meninggal, antara lain 347 dokter, 39 dokter gigi, 158 bidan, 3 terapis gigi, 5 sanitarian, 2 petugas ambulans, 6 rekam radiologi, 28 ahli teknologi laboratorium medik, 9 apoteker, 3 elektromedik, 1 fisikawan medik, 1 entomolog kesehatan, 3 tenaga farmasi, 2 epidemiolog, dan 36 lain-lain. Total ada 981 tenaga kesehatan yang gugur karena Covid-19.
Harif memperkirakan, jumlah perawat yang positif Covid-19 dan meninggal, jauh lebih besar dari data yang ia miliki. Sebab, sebagian besar perawat ada yang tak melaporkan kasus infeksi ke PPNI.
Gugurnya tenaga kesehatan yang bertugas di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Liza Putri Noviana karena tertular Covid-19 pada Kamis (24/6) lalu, menambah deretan panjang kematian tenaga medis karena Covid-19.
Problem tenaga kesehatan pun makin bertambah ketika tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) tinggi. Merujuk data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 20 Juni 2021, ada empat provinsi di Jawa yang punya tingkat BOR tinggi, yakni Jakarta 86%, Jawa Tengah 82%, Jawa Barat 84%, dan Banten 80%.
Harif meminta pemerintah untuk bisa memberikan perhatian bagi sistem pelayanan kesehatan yang ia nilai sudah memprihatinkan. “Rumah sakit sudah mulai kelelahan ya. Itu kan hubungannya erat dengan sumber dayanya. Misalnya, oksigen habis,” ucapnya.
Harif mendesak agar pimpinan rumah sakit dan puskesmas bisa memperhatikan keselamatan tenaga kesehatan. Langkah ini, katanya, dapat dilakukan dengan mengatur jam kerja yang baik dan menyediakan waktu untuk karantina mandiri, sebelum tenaga kesehatan pulang ke rumah.
“Konsepnya kan 14 hari melayani, 14 hari karantina. Nah, kalau begitu, perlu banyak tenaga juga. Itu harus disiapkan,” katanya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengklaim, pihaknya sudah menyiapkan opsi penyediaan relawan tenaga kesehatan untuk mengatasi persoalan ini. Relawan tersebut bertujuan membantu perawat dalam menangani pasien Covid-19.
“Ada relawan yang kita siapkan. Saat ini, jumlah relawan masih mencukupi memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan,” ujar Siti saat dihubungi, Kamis (24/6).
Meski begitu, Siti mengaku tak mengetahui jumlah total relawan yang telah ada dan yang akan disiapkan. Sedangkan Sekretaris Direktorat Jenderal Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) Kemenkes, Budi Hidayat mengatakan, sudah ada 2.930 relawan tenaga kesehatan tambahan untuk membantu menangani pasien Covid-19 di rumah sakit.
“(Data relawan) masih diolah ya, tapi yang jelas, lagi disiapkan dan dipastikan segera memenuhi rumah sakit,” ujar Budi saat dihubungi, Kamis (24/6).
Mengatasi krisis tenaga kesehatan
Persoalan krisis tenaga kesehatan tak bisa dipandang remeh. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per 2020 jumlah tenaga kesehatan di Jakarta sebanyak 63.098, terdiri dari dokter 10.112 orang, perawat 36.215 orang, bidan 7.127 orang, farmasi 7.497 orang, dan ahli gizi 1.517 orang.
Sementara data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kemenkes, tenaga kesehatan yang ada di fasilitan pelayanan kesehatan di Jawa Tengah per 31 Desember 2020 sebanyak 13.625 orang. Merujuk dari data yang sama, di Jawa Timur terdapat 12.884 orang tenaga kesehatan. Sedangkan di Jawa Barat ada 16.705 orang tenaga kesehatan.
Namun, sayangnya tak ada informasi detail terkait jumlah tenaga kesehatan khusus menangani Covid-19 dan relawan yang bertugas.
Tenaga kesehatan pun mesti bertempur dengan cepatnya laju lonjakan kasus Covid-19. Per Sabtu (26/6), Kemenkes merilis, tambahan kasus positif Covid-19 tembus ke angkat 21.095 orang. Angka itu lebih tinggi dari sehari sebelumnya, yang mencapai 20.574 orang.
Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi menyarankan pemerintah agar fokus mengatasi persoalan tenaga kesehatan di tengah lonjakan pasien Covid-19. Selain itu, pemerintah dinilai perlu melakukan pemetaan terhadap kondisi tenaga kesehatan dan sistem pelayanan perawatan, yang mencakup fasilitas tempat, alat medis, dan obat-obatan.
Dengan pemetaan tersebut, menurut Adib, tindakan untuk menambah tenaga kesehatan ke beberapa daerah yang mengalami krisis bisa tepat sasaran. Menurutnya, segala upaya itu perlu didukung dengan penegakan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro. Baginya, aparat perlu tegas dalam menindak para pelanggar protokol kesehatan untuk menekan kasus Covid-19.
“Agar masyarakat paham, sebetulnya kita saat ini dihadapkan oleh kondisi yang sangat mengkhawatirkan,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (23/6).
Pemahaman terhadap sistem pelayanan kesehatan yang tengah krisis, kata Adib, perlu ditumbuhkan agar semua pihak punya rasa tanggung jawab untuk mengendalikan penularan dan memulihkan pelayanan kesehatan.
“Jangan sampai yang masuk ke rumah sakit ini semakin banyak,” kata dia.
Dihubungi terpisah, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai, ada persoalan baru bila pemerintah mengambil solusi alternatif, yakni menambah jumlah relawan tenaga kesehatan. Dicky menuturkan, keterbatasan utama saat ini terkait insentif untuk tenaga kesehatan.
“Kita mendengar lah yang di Wisma Atlet dan rumah sakit lain, masalah insentif ini mengemuka,” ujar Dicky saat dihubungi, Jumat (25/6).
“Mereka manusia, punya tanggung jawab, dan luar biasa ini hak yang harus dipenuhi. Menurut saya, ini belum terselesaikan.”
Menurut Dicky, Kemenkes harus bisa menyelesaikan tunggakan insentif para tenaga kesehatan dahulu, sebelum mengambil opsi menyediakan relawan. Lebih lanjut, dia menyarankan pemerintah melakukan audit terhadap tunggakan insentif itu.
“Saya kira harus diperhatikan ini karena menyangkut banyak hak di situ. Hak tenaga kesehatan dan hak publik, yang kalau terganggu tak bisa terlayani,” ujarnya.
“Kalau tidak ada tenaga kesehatan, kita akan semakin terpuruk. Namanya kolaps rumah sakit itu bukan karena masalah tak ada tempat tidur saja. Kalau tenaga kesehatannya sakit, siapa yang mau layani?”
Kemenkes sendiri sudah menerbitkan aturan baru terkait insentif tenaga kesehatan Covid-19, melalui KMK Nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021. Lewat aturan itu, semua insentif akan ditransfer langsung ke rekening tenaga kesehatan. Usulan penerima insentif mesti berasal dari fasilitas kesehatan dan besarnya nominal yang harus dibayar disesuaikan dengan tingkat risiko infeksi.
Ada lima kategori insentif yang dibayarkan, yakni dokter spesialis sebesar Rp15 juta, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Rp12m5 juta, dokter umum dan gigi Rp10 juta, bidan dan perawat Rp7,5 juta, dan tenaga kesehatan lainnya Rp5 juta.
Beberapa waktu lalu tersiar kabar tunggakan pemberian insentif bagi tenaga kesehatan yang bertugas menangani pasien Covid-19. Bahkan, masalah itu hingga kini masih belum selesai.
Misalnya, mengutip Antara, Rabu (23/6), Dinas Kesehatan Makassar mencatat total insentif tenaga kesehatan yang harus dibayar sekitar Rp15 miliar untuk empat bulan, terhitung September hingga Desember 2020. Sedangkan pencairan baru Rp7 miliar.
Sementara itu, Plt. Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM (PPSDM) Kesehatan Kemenkes Kirana Pritasari dalam situs web resmi mereka, Kemenkes mengklaim sudah menyelesaikan pembayaran tunggakan insentif tahun 2020 bagi relawan di RSDC Wisma Atlet sebesar Rp11,8 miliar untuk 1.613 relawan pada 6 dan 10 Mei 2021.
Kemudian, dalam situs web resmi Kemenkes, Prita mengatakan, hingga Selasa (20/4), untuk tahun 2021, sudah ada usulan insentif yang masuk melalui 181 fasilitas kesehatan dengan jumlah tenaga kesehatan sebanyak 30.105 orang. Total insentif sekitar Rp186,6 miliar.
Sebagai solusi lainnya, yang juga penting menurut Dicky adalah menggencarkan testing, tracing, dan treatment (3T). Hal itu, kata dia, bisa meringankan beban tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan.
“Jadi pencegahan lebih ditingkatkan, menemukan kasus yang lebih tinggi, itu bisa dilakukan,” tuturnya.