Pakar komunikasi politik Emrus Sihombing menilai, kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang menyebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai
The King of Lip Service atau Raja Membual sangat subjektif.
Menurut dia, BEM UI tidak cukup data untuk menyimpulkan atau melabeli Jokowi sebagai Raja Membual. "Saya kira itu suatu generalisasi yang kurang tepat. Karena data-data, fakta-fakta yang terkait dengan itu belum memadai untuk sampai pada kesimpulan Jokowi Raja Membual," kata Emrus kepada Alinea.id, Selasa (29/6).
Emrus menilai, sah-sah saja BEM UI menyampaikan kritikannya terhadap Jokowi. Namun, sebagai bagian dari civitas akademika, ketika memberikan pandangan di ruang publik, harusnya berbasis kepada akademis. Label koruptor kepada orang tertentu misalnya, kata Emrus, muncul karena disertai bukti, fakta persidangan dan putusan pengadilan yang final dan mengikat (inkrah).
"Seharusnya, mereka membuat secara akademis, studi semiotika. Apa yang diungkapkan Pak Jokowi, dan ini yang tidak dilakukan. Sehingga, terungkap secara holitstik. Tidak serta merta mengambil kesimpulan, simbol-simbol atau konsep tertentu," ujarnya.
Emrus juga menambahkan, kritik di ruang publik juga tidak boleh lepas dari nilai-nilai yang dijunjung. Karena itu, dia berkesimpulan, apa yang disampaikan BEM UI tak lain merupakan sesuatu yang dilebih-lebihkan.
"Saya terus terang menyatakan, ketika kita menyampaikan pandangan di ruang publik, termasuk dengan keluarga kita, tidak boleh lepas dari aksiologi, nilai-nilai yang kita junjung tinggi," jelas Emrus.
Sebelumnya, BEM UI mengkritik Presiden Jokowi lantaran sering mengobral janji manis yang kerap tidak direalisasikan. Jokowi pun dicap BEM UI sebagai The King of Lip Service alias Raja Membual.
Tak lama kemudian, Rektorat UI memanggil sejumlah pengurus BEM UI lewat surat nomor: 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 yang ditandatangani oleh Direktur Kemahasiswaan UI, Tito Latif Indra.