Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan penjelasan terkait pembatalan ekshumasi oleh keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyatakan, pihaknya telah bertemu dengan Devi Athok selaku ayah kandung dari dua korban jiwa tragedi Kanjuruhan, Natasya (18) dan Nayla (13).
Dalam pertemuannya yang didampingi kepala desa dan camat setempat, Anam mengonfirmasikan kepada Devi Athok soal kronologi pencabutan izin ekshumasi.
"Kami mendapatkan keterangan secara kronologis apa yang terjadi, terus dinamika yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa itu, termasuk juga para pihak yang terlihat dalam dinamika-dinamika itu," kata Anam dalam keterangan video, Jumat (21/10).
Disampaikan Anam, pihaknya memperoleh keterangan bahwa Athok sempat tiga kali didatangi polisi terkait keinginannya melakukan ekshumasi terhadap jenazah putrinya.
Anam menjelaskan, mulanya Athok berkeinginan melakukan autopsi untuk mencari tahu penyebab kematian kedua putrinya. Terlebih, kata Anam, kondisi jenazah kedua anak Athok menghitam di bagian wajah dan dada.
"Pada 10 Oktober itu, Pak Athok memang membuat pernyataan (keinginan autopsi) di depan kuasa hukumnya. Sama Pak Athok, menurut dia (pernyataan keinginan autopsi) masih berupa draf, karena dia masih mau berjumpa dengan Pak Kadesnya untuk minta tanda tangan agar diketahui oleh Pak Kades," ujar Anam.
Namun, pada 11 Oktober, pihak kepolisian dari polsek setempat menghubungi Athok dan menyatakan ada polisi dari Polres Malang hendak mendatangi kediamannya. Kedatangan tersebut terkait dengan rencana autopsi.
"Akhirnya polisi berjumlah kurang lebih empat orang datang ke rumah Pak Athok. Nah Pak Athok juga kaget, dia merasa bahwa itu masih draf, kok ini sudah kemana-mana," papar Anam.
Anam mengatakan, kedatangan pihak kepolisian tersebut membuat Athok tidak nyaman, sebab pernyataan keinginan autopsi yang masih berupa draf tersebut sudah tersebar. Kemudian, pihak kepolisian dari Polres Malang kembali mendatangi kediaman Athok pada 12 Oktober, dengan membawa surat persetujuan untuk melakukan autopsi.
Disampaikan Anam, Athok mengaku terkejut dengan adanya surat persetujuan tersebut. Kendati demikian, Athok menandatangani surat persetujuan untuk melakukan autopsi pada 20 Oktober.
"Kita tanya di proses itu, waktu tanda tangan ada paksaan tidak? Tidak ada paksaan, karena memang sejak awal dia komitmen mau melakukan autopsi," ungkapnya.
Kendati demikian, lanjut Anam, pihaknya menyoroti absennya pendampingan terhadap keluarga Athok saat berhadapan dengan pihak kepolisian. Berdasarkan keterangan Athok, ia mencoba menghubungi para pendamping hukumnya pada 11 dan 12 Oktober, namun tidak ada yang dapat mendampinginya.
Pihak kepolisian kemudian datang lagi pada 17 Oktober bersama perangkat kecamatan dan desa setempat. Pada saat itu, Athok juga tidak didampingi pendamping hukum meski sudah menghubungi mereka.
Ketidakhadiran pendamping hukum tersebut, ujar Anam, menjadikan Athok dan pihak keluarga khawatir, dan kemudian menarik kembali keputusan untuk melakukan autopsi. Hal itu diputuskan melalui pembahasan internal di keluarga Athok dengan berbagai pertimbangan, termasuk kondisi orang tua Athok.
"Pak Devi Athok mengatakan bahwa keputusan secara substansi, keputusan untuk membatalkan itu adalah keputusan keluarga. Di samping itu juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sudah sepuh, sudah tua," jelas Anam.
Anam mengonfirmasi pada Athok soal ada tidaknya paksaan terhadap pembatalan rencana autopsi tersebut. Disampaikannya, Athok mengatakan pembatalan tersebut merupakan keputusan keluarga.
"Dia tulis tangan sendiri penolakan itu. Membuat (surat) penolakan itu didampingi polisi dan juga disaksikan perangkat desa. Apakah itu diintimidasi untuk membuat surat penolakan? Itu tidak ada, karena itu keputusan keluarga katanya, dan mempertimbangkan kondisi ibunya. Jadi dia tidak mendapatkan itu (intimidasi)," papar Anam.
Kendati demikian, Anam menyebut ada kekhawatiran dari Athok atas ketidakhadiran pendamping hukum saat pihaknya bertemu dengan kepolisian pada 11, 12, dan 17 Oktober. Namun, dikatakan Anam, tidak ada intimidasi dalam proses pencabutan rencana autopsi ini.
"Kita tanya sebenarnya, 'apakah Pak Athok mendapatkan intimidasi?' Enggak (ada) intimidasi. Bahwa dia khawatir, banyak polisi yang datang iya. Bahwa dia khawatir, akhirnya juga trauma, karena punya trauma kejadian Kanjuruhan. Khawatir, terus dia juga merasa ketakutan. Ketakutan dan kekhawatiran ini terjadi, karena memang tidak ada pendampingnya," tukas dia.