Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tetap menggelar mogok nasional menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Cipker) yang telah disahkan pemerintah bersama DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin (5/10).
Presiden KSPI Said Iqbal mengklaim, mogok nasional akan diikuti sebanyak dua juta buruh di 25 provinsi. Bahkan, akan mengajak sekitar tiga juta buruh lain dari berbagai sektor industri di Indonesia.
Kaum buruh yang turut meramaikan mogok nasional berasal dari berbagai sektor industri, seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif, elektronik, besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, pariwisata, semen, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, logistik, hingga perbankan.
“32 federasi dan konfederasi serikat buruh dan beberapa federasi serikat buruh lainnya siap bergabung dalam unjuk rasa serempak secara nasional tanggal 6-8 Oktober 2020 yang diberi nama mogok nasional,” ujar Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10).
Aksi mogok nasional tersebar di provinsi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Kemudian, Riau, Lampung, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat.
Dalam aksi mogok nasional, para buruh akan menyuarakan tujuh alasan penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Pertama, UMK bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tidak perlu dihapus karena setiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal daripada negara ASEAN lainnya. Bahkan, rerata nilai UMK secara nasional justru lebih kecil daripada upah minimum di Vietnam.
“Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” ujar Said Iqbal.
Kedua, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. KSPI juga mempertanyakan skema baru 19 bulan upah dibayarkan pengusaha dan 6 bulan diserahkan kepada BPJS Kesehatan.
“Tidak masuk akal. Bisa dipastikan BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pesangon dengan mengikuti skema ini,” tutur Said Iqbal.
Ketiga, buruh menolak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak.
Keempat, buruh menolak outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan. Ia juga mempertanyakan, siapa pihak yang akan membayar JKP untuk karyawan kontrak.
“Tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP,” ujar Said Iqbal.
Kelima, buruh menolak jam kerja yang eksploitatif. Keenam, buruh menolak penghilangan hak cuti dan upah atas hak cuti.
Ketujuh, buruh menolak penghilangan jaminan pensiun dan kesehatan bagi karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup.
“Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” ucapnya.