Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menilai, terdapat empat masalah di balik restu reklamasi untuk PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJA). Pertama, pemerintah provinsi (pemprov) berupaya mengelabui publik dengan penerbitan izin secara diam-diam dan mengklaim proyek itu bukan reklamasi.
"Padahal jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perluasan wilayah Ancol dengan mengonversi wilayah laut pesisir menjadi daratan jelas merupakan reklamasi," ucap perwakilan KSTJ, Iwan, melalui keterangan tertulis kepada Alinea.id, Selasa (14/7).
Kedua, lanjut Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke itu, izin tersebut melanggar UU Pesisir dan Pulau Kecil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K).
Hingga kini DKI Jakarta belum memiliki Perda RZWP3K. Pemprov memutuskannya menarik dari program legislasi daerah (prolegda) dengan dalih penyempurnaan kajian dan materi.
Perwakilan KSTJ lainnya dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, Tubagus Ahmad, mengingatkan, reklamasi di pesisir pantai utara (pantura) harus sesuai Perda RZWP3K lantaran menjadi syarat izin pembuatan pulau palsu.
Dirinya pun menduga terjadi pelanggaran pidana tata ruang–diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 26 Tahun 2007–karena ketiadaan dasar hukum perencanaan ruang tersebut. Terancam dipenjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. "Serta pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya."
Ketiga, penerbitan izin diduga tak memenuhi syarat administrasi formal dan substansial terhadap perlindungan dan pengelolan lingkungan. Pangkalnya, beberapa kewajiban persyaratan yang diatur–kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), Analisis dampak lingkungan (amdal), surat kelayakan lingkungan hidup (SKKL) dan izin lingkungan ataupun rencana induk reklamasi–tidak dipenuhi sebelum penerbitan izin pelaksanaan terbit.
Beberapa kewajiban lingkungan tersebut, ungkap anggota KSTJ lainnya, Nelson Nikodemus Simamora, justru baru diamanatkan melalui izin reklamasi Ancol via Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020.
"Ini patut untuk ditindaklanjuti dengan penegakan hukum pidana atas dugaan tiadanya izin lingkungan dalam kegiatan penimbunan yang telah berjalan sejak 2009 sebagaimana diatur dalam Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup," kata Kepala Advokasi LBH Jakarta itu.
Terakhir, bagi KSTJ, reklamasi Ancol merupakan perampasan laut berupa konversi kawasan perairan dari milik bersama publik menjadi komersialisasi ruang pesisir. Sehingga, akan merugikan nelayan tradisional dan merusak lingkungan hidup.
Perwakilan KSTJ lainnya, Areiska Kurniawaty, menambahkan, pihaknya telah menggugat reklamasi Pulau I dan Pulau K–lokasi perluasan Ancol yang diizinkan pemprov–karena wilayah nelayan terganggu. Kawasan itu termasuk satu kesatuan ekosistem Teluk Jakarta.
"Sudah berkali-kali disampaikan, bahwa reklamasi di Teluk Jakarta akan menghilangkan wilayah tangkap nelayan tradisional yang dapat berujung pengurangan pendapatan atau bahkan hilangnya mata pencaharian," tegasnya.
"Berbagai penelitian juga telah banyak menunjukkan dampak buruk reklamasi bagi ekosistem Teluk Jakarta. Mengorbankan kepentingan nelayan untuk tujuan komersial di wilayah pesisir jelas bertentangan dengan Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 3 Tahun 2010," papar Koordinator Program Nasional Soldiaritas Perempuan (SP) ini.