KTP untuk transgender dan harapan pupusnya diskriminasi
Vanessa, seorang transpuan yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen di daerah Depok, Jawa Barat, kerap menunda keberangkatannya pulang kampung ke Tarakan, Kalimantan Utara. Penyebabnya, ia belum punya kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), yang menjadi salah satu syarat dokumentasi penerbangan.
Padahal, transpuan berusia 27 tahun yang sudah empat tahun tak pulang kampung itu sudah sangat rindu keluarganya. Tiga tahun lalu, KTP-nya hilang saat ia mengamen.
“Sementara kalau mau beli tiket pesawat harus pakai KTP,” katanya saat dihubungi Alinea.id, Senin (7/6).
Sejak KTP-nya hilang, ia hanya menyimpan fotokopi KTP. Selain tak bisa membeli tiket pesawat, karena tak punya KTP, Vanessa mengaku sulit mendapat pekerjaan. Ia ingin sekali berhenti mengamen dan bercita-cita bekerja di salon kecantikan.
"Aku mau kerja di salon supaya lebih tenang dan enggak dikejar Satpol PP," ucap Vanessa.
Perjuangan mendapatkan KTP
Kisah memilukan juga diungkap Sutarno—seorang transpuan yang tinggal di Banyumas, Jawa Tengah. Sudah lima tahun lebih ia tak punya KTP karena aparat desa setempat tak pernah merespons permintaan pembuatan KTP-nya.
KTP Sutarno hilang di sungai pada 2015. Sejak saat itu, ia mulai kesulitan mengakses berbagai layanan publik.
“Saya juga susah cari kerja,” kata dia saat dihubungi, Senin (7/6).
Di samping itu, transgender berusia 35 tahun itu mengaku sering ditolak ketika mencari kontrakan untuk tempat usaha. Alasannya, ia tak punya identitas yang jelas. Selama pandemi, ia pun tak masuk dalam data penduduk Banyumas yang berhak menerima bantuan sosial dari pemerintah.
“Desa pun enggak pernah tanggap dengan masalah saya,” tuturnya.
Sutarno mengatakan, ia hanya didekati kala ada hajatan politik tingkat lokal maupun nasional. “Aku bingung kenapa susah sekali buat KTP. Padahal, kalau ada pemilihan bupati, lurah, sampai presiden, aku ikut nyoblos,” ujarnya.
Sementara Emy, transpuan asal Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sudah sejak 2000 merantau ke Jakarta. Sejak itu, ia tak punya KTP. Di Jakarta ia sempat mengandalkan KTP musiman. Akan tetapi, lambat laun tak lagi berfungsi, seiring perubahan kebijakan kependudukan.
“Sekitar 2010 aku coba mengurus di (kelurahan) daerah Jakarta Barat. Tapi, penampilan aku dipermasalahkan,” kata Emy saat dihubungi, Senin (7/6).
“Kata mereka, ‘enggak bisa. Masak nanti difoto KTP-nya dandanan perempuan. Padahal kan Anda laki-laki’.”
Ia sering dihantui ketakutan untuk bepergian ke luar kota karena tak punya KTP. Emy juga sama sekali tak bisa mengakses layanan perbankan dan kesehatan. Paling memilukan, saat ia mencari kontrakan untuk tempat tinggal.
“Selalu alasannya penuh. Padahal jelas-jelas kosong. Mereka takut karena ada stigma kalau kami ini makhluk yang dilaknat Tuhan,” ucapnya.
Setelah mendengar bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengakomodasi transgender untuk mendapatkan dokumen kependudukan, seperti KTP-el dan kartu keluarga (KK), Vanessa girang.
“Ya Allah, aku senang. Alhamdulillah. Soalnya susah banget pengen punya KTP,” ujarnya.
Ia antusias mendaftarkan diri sebagai calon pembuat KTP. Semula, ia dijadwalkan pembuatan KTP di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Tangerang Selatan.
Namun, belum datang ke Kantor Disdukcapil Tangerang Selatan, ia diberi kabar oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsentrasi kepada isu transgender, yakni Suara Kita bahwa nomor induk kependudukan (NIK) miliknya belum terdeteksi di Kemendagri.
“Jadi masih harus nunggu. Aku belum bisa bikin KTP baru,” katanya.
Ia juga sempat berusaha membuat KTP di Kantor Disdukcapil Kota Depok. Akan tetapi, pihak Disdukcapil Kota Depok meminta Vanessa membuat surat pindah lantaran ia masih tercatat sebagai warga Tarakan.
Sayangnya, ia tak bisa melengkapi syarat itu karena dokumen keluarganya di Tarakan raib dilalap si jago merah, yang membakar rumah keluarganya.
Selain Vanessa, Sutarno pun merasa gembira mendengar kabar pembuatan KTP bagi transgender. Ia langsung mengumpulkan semua syarat, seperti akte kelahiran dan kartu keluarga.
“Supaya aku bisa lagi punya KTP,” ujar Sutarno.
Apes bagi Sutarno. Program itu ternyata belum bisa dieksekusi Pemda Banyumas.
“Saya hanya disuruh bersabar. Padahal, sudah enggak sabar pengen cari kerja buat memenuhi kebutuhan keluarga,” katanya.
Ia ingin berhenti bekerja di jalanan, mencari pekerjaan lain yang lebih layak. Setelah itu, mengumpulkan uang untuk membuka usaha salon.
"Ibu saya sudah tua. Saya ingin mengurus dia di masa tuanya," ujar Sutarno. Sutarno juga ingin memiliki buku rekening bank untuk menabung.
Berbeda dengan Vanessa dan Sutarno, Emy gembira berhasil mendapatkan KTP barunya. Sepanjang hari, ia terus memandangi KTP-nya itu karena sudah terlalu lama menunggu untuk bisa memiliki.
“Ya Allah, rasanya masih kayak mimpi,” kata transpuan berusia 39 tahun itu.
Setelah mendapatkan KTP, Emy mengurus pembuatan buku rekening bank dan kartu ATM. Tapi, ia masih saja ditolak pihak perbankan lantaran penampilannya yang tak mencerminkan jenis kelaminnya.
“Jujur kecewa. Ternyata keadaan saya dipermasalahkan dan belum disambut baik semua pihak,” ucapnya.
“Pemerintah harus memberikan pemahaman bahwa kami punya hak yang sama seperti warga negara pada umumnya. Tanpa mempermasalahkan transgender kami.”
Langkah yang baik
Ketua Suara Kita, Hartoyo mengatakan, sejak lama kalangan transgender sulit mengakses layanan publik karena tak memiliki KTP. Kondisi ini diperparah dengan sikap negara, yang membiarkan mereka terasing secara sosial.
“Sehingga membuat RT/RW tidak afirmatif terhadap mereka atau mendata sebagai warga. Mereka dipandang bukan warga yang dianggap menguntungkan,” ujar Hartoyo saat dihubungi, Minggu (6/6).
Imbasnya, banyak transgender diperlakukan tidak adil. “Karena mereka diasingkan, terkeluarkan dari sistem sosial-politik, akhirnya tidak dianggap ada.”
Menurutnya, Ditjen Dukcapil Kemendagri kini mulai peka melihat persoalan yang dialami transgender, dengan membantu memudahkan pembuatan KTP. Ia mengatakan, cara ini bisa menjadi langkah awal untuk memulihkan martabat kalangan transgender.
“Momen ini juga bisa jadi kesempatan Kemendagri mendata mereka yang selama ini sulit sekali terdata. Karena mereka nomaden, pindah sana pindah sini,” ujar Hartoyo.
Hartoyo mengakui, bukan perkara mudah memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada transgender. Sebab, banyak dari mereka yang sudah tak lagi ingat NIK lantaran sudah tak terhubung dengan keluarganya.
“Karena mereka banyak yang lari dari rumah atau terbuang dari keluarganya. Tapi, Kemendagri sedang mengusahakan, mereka secara de facto punya silsilah,” kata Hartoyo.
Hartoyo pun membenarkan, pelayanan administrasi kependudukan kepada transgender tak bisa dilakukan secara serentak. Maka wajar banyak daerah yang belum bisa memberikan pelayanan tersebut.
“Prosesnya tidak semudah yang kita bayangin. Pihak Kemendagri juga minta tahap demi tahap, sehingga baru fokus di Jabotabek dan Serang,” ucap Hartoyo.
Sejauh ini, kata dia, Suara Kita sudah menghimpun sebanyak 400 data transgender yang sudah dan bakal diberikan KTP. Jumlah ini bisa terus bertambah.
"Dugaan saya bisa sampai 1000-an lebih, karena kita promosinya belum masif," kata Hartoyo.
Ia pun berharap pembuatan KTP bagi kalangan transgender ini disambut baik oleh segenap masyarakat, sehingga tidak ada lagi pihak yang mengasingkan transgender.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida menilai, pemberian KTP bagi transgender merupakan langkah awal untuk menghapus perlakuan diskriminatif. Sesuai konstitusi, menurutnya, setiap warga negara dijamin haknya, baik secara sipil, sosial, dan politik.
“Dengan pemberian KTP, negara bukan saja merekognisi transgender sebagai warga negara, tetapi juga menjamin hak sipil dan politiknya. Termasuk mendapatkan perlindungan negara,” ujar Ida saat dihubungi, Rabu (9/6).
Ia pun memandang, pembuatan KTP bagi transgender bisa jadi harapan mengikis stigma, yang terkadang dijadikan dalih mendiskriminasi mereka. Lebih lanjut, Ida menuturkan, program pembuatan KTP bagi transgender perlu didorong agar tak ada satu pun dari mereka yang luput didata.
“Sebab selama ini para transgender terabaikan keberadaannya, meski mereka ada yang berkontribusi nyata sebagai warga bangsa,” kata Ida.
Selain itu, Ida juga berharap masyarakat tidak lagi mengucilkan transgender. “Pemerintah saja sudah belajar menghargai hak kalangan transgender. Harapannya, rekognisi masyarakat akan sejalan dengan rekognisi negara,” ujarnya.