close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Terdakwa obstruction of justice kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, AKBP Arif Rachman Arifin saat hendak memasuki ruang sidang, Jumat (28/10). Dok: Alinea.id/Immanuel Christian
icon caption
Terdakwa obstruction of justice kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, AKBP Arif Rachman Arifin saat hendak memasuki ruang sidang, Jumat (28/10). Dok: Alinea.id/Immanuel Christian
Nasional
Jumat, 28 Oktober 2022 11:58

Kuasa hukum: Tindakan Arif Rachman bukan pidana

Kuasa hukum menyebut, tindakan Arif Rachman hanya mengikuti perintah atasan berwenang sesuai perkap.
swipe

Tim kuasa hukum AKBP Arif Rachman Arifin, mengajukan pembatalan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) terhadap kliennya, karena tidak tepat dan prematur. Hal itu disampaikan dalam eksepsi atau nota keberatan pada persidangan obstruction of justice kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (28/10).

Kuasa Hukum Arif, Junaedi Saibih mengatakan, tindakan kliennya bukanlah ranah pidana melainkan kategori administrasi, karena murni atas perintah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Maka, sejatinya harus diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

"Sehingga apabila terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan yang bersifat melawan hukum dalam segenap tindakan tersebut maka seharusnya diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara," kata Junaedi, Jumat (28/10).

Junaedi menyebut, kliennya telah melakukan hal yang patut dengan menonton CCTV pos keamanan Kompleks Polri Duren Tiga di kediaman eks Kasat Reskrim Polres Jaksel, Ridwan Soplanit. Hal itu telah peraturan administrasi dan sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pengamanan Internal di Lingkungan Polri.
 
Sementara, dalam Pasal 16 Perkap itu disebutkan bahwa pengamanan bahan keterangan meliputi menghimpun dan melakukan pendataan terhadap setiap baha keterangan yang masuk dan keluar, serta melakukan pendataan, analisa, dan evaluasi terhadap penggunaan bahan keterangan. Apalagi, yang dilakukan Arif Rachman berdasarkan perintah Ferdy Sambo.

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 11 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 disebutkan bahwa Setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai bawahan dilarang untuk melawan atau menentang atasan, dan menyampaikan laporan yang tidak benar kepada atasan.

Termasuk juga saat mengetahui Brigadir J masih hidup dalam salinan rekaman, tindakan Arif Rachman yang menelpon Brigjen Hendra Kurniawan sudah sesuai dengan peraturan administrasi. Begitu juga saat menerima perintah dari Ferdy Sambo untuk memerintahkan Baiquni Wibowo menghapus salinan rekaman CCTV. 
“Dalam Pasal 16 huruf d Perkap No. 13/2006 juga menyebutkan bahwa “Pengamanan bahan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 2 meliputi  penghapusan dan pemusnahan bahan keterangan, lagipula file yang dihapus bukan file asli melainkan copy atau salinan rekaman” tutur kuasa hukum Arif Rachman.

Tak hanya itu, menurut Junaedi, tindakan kliennya yang mematahkan laptop Baiquni Wibowo di dalam mobil yang terparkir di depan Masjid Mabes Polri dilakukan atas perintah Ferdy Sambo. Apalagi, menurut Juanedi, dalam bagian D tentang Tata Kerja, Lampiran VII Perkap Nomor 6 Tahun 2017 disebutkan bahwa pimpinan unit kerja di lingkungan Dipropam Polri wajib untuk menjabarkan dan menindaklanjuti setiap kebijakan pimpinan.

"Bahwa tindakan menonton salinan rekaman CCTV tersebut didasarkan perintah dari Irjen Ferdy Sambo selaku Kadiv Propam Polri sehingga tindakan Arif Rachman tersebut telah berkesesuaian dengan peraturan administrasi," ujar Junaedi.

Atas dasar uraian tersebut, Junaedi menyebut, tindakan Arif Rachman sudah sesuai dengan perintah atasan yang saat itu masih berwenang dan masih dalam lingkup tugasnya. Tindakan Arif Rachman juga sesuai dengan peraturan administrasi dan perintah atasan yang sah dan saat itu masih masih berwenang.

Menurutnya, sebelum dikakukan pemeriksaan pidana perkara a quo, perlu diidentifikasi sebelum dinyatakan bahwa memang tindakan yang dilakukan dikualifisir sebagai tindakan pidana. Penerapan proses hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium bukan ditempatkan diawal prosedur.

Maka dari itu, menurut Junaedi, dakwaan penuntut umum terhadap kliennya dianggap prematur karena penyalahgunaan wewenang atau dugaan perbuatan bersifat melawan hukum, Arif Rachman harus terlebih dahulu melalui proses indentifikasi pada Peradilan Tata Usaha Negara.

Ia menegaskan, pemeriksaan perkara a quo yang dilaksanakan tanpa didahului oleh pengujian terhadap tindakan terdakwa Arif Rachman melalui PTUN, tidak dapat diterima. Dakwaan itu akhirnya melanggar asas praesumptio iustae causa.

“Karena suatu tindakan administrasi pejabat dianggap benar dan tidak mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum sepanjang tidak ada atau belum diputuskan sebaliknya oleh PTUN," ucap Junaedi.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan