close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ratusan mahasiswa dan pemuda Papua Barat berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut merdeka sebagai buntut rasisme. Alinea.id/Alfiansyah Ramdhani
icon caption
Ratusan mahasiswa dan pemuda Papua Barat berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut merdeka sebagai buntut rasisme. Alinea.id/Alfiansyah Ramdhani
Nasional
Senin, 11 November 2019 16:17

Kuasa hukum ungkap kejanggalan penahanan 6 aktivis Papua

Sidang perdana praperadilan enam aktivis Papua ditunda lantaran pihak Polda Metro Jaya selaku termohon tidak hadir dalam persidangan.
swipe

Sidang perdana praperadilan enam aktivis Papua resmi ditunda. Keputusan tersebut diambil Agus Wibowo selaku Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lantaran pihak Polda Metro Jaya selaku termohon tidak hadir dalam persidangan yang dijadwalkan pada, Senin (11/11).

Anggota Tim Advokasi Papua, Okky Wiratama, membeberkan poin-poin yang hendak dibacakan dalam sidang praperadilan. Pertama, terkait penggeledahan oleh Polda Metro Jaya terhadap enam aktivis Papua dianggap tidak sah. Sebab, penggeledahan tersebut tidak disertai surat izin.

“Pertama terkait dengan penggeledahan terhadap pemohon (aktivis) yang tidak sah karena penggeledahannya tidak memakai surat izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat,” kata Okky di PN Jakarta Selatan, Senin (11/11).

Okky menjelaskan, penggeledahan oleh polisi terhadap kliennya terjadi pada 30 Agustus 2019 di asrama Lanny Jaya, Depok, Jawa Barat. Selain tak ada surat izin, menurutnya, penggeledahan semakin tidak sah karena tidak disaksikan oleh dua orang sebagai saksi dari perwakilan RT dan RW setempat. Dengan demikian, Okky menilai penggeledahan tersebut sama sekali tidak sesuai prosedur.

"Padahal sudah ada KUHAP yang mengatur bahwa penggeledahan itu harus memiliki surat izin dari ketua Pengadilan Negeri setempat dan dihadiri oleh dua orang sanksi, yang mana pada saat di geledah tidak ada sama sekali saksi dari RT RW yang melihat," ujar dia.

Poin berikutnya, lanjut Okky, pihak kepolisian sebagai termohon diduga telah melakukan perampasan barang milik para korban atau pemohon. Menurut Okky, apabila pengambilan barang tersebut sebagai penyitaan, semestinya ada surat izin penyitaan.

Akan tetapi, saat kejadian polisi mengambil barang-barang para aktivis tidak sesuai prosedur karena tapa surat izin, sehingga pihaknya mengatakan itu sebagai perampasan. "Jadi, pada saat datang, diduga bahwa barang-barang tersebut dirampas, bukan disita. Karena kalau disita, maka harus ada surat-surat, (sesuai) prosedurnya," ujar dia.

Lebih lanjut, penetapan tersangka kepada enam aktivis Papua ini juga janggal. Itu karena mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Okky, apabila seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tidak dengan tangkap tangan, maka harus dipanggil terlebih dahulu sebagai saksi untuk dilakukan pemeriksaan.

Akan tetapi, yang terjadi dengan keenam aktivis Papua tersebut tidak demikian. Menurut Okky, mereka langsung dijadikan tersangka tanpa melalui prosedur yang semestinya. “Prosedur KUHAP seperti itu. Harus dipanggil dulu sebagai saksi, datang dulu ke Polda dua kali dipanggil sebagai saksi, naik sebagai tersangka. Baru bisa ditangkap," tutur Okky.

Sebelumnya, enam aktivis Papua masing-masing bernama Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait dan Arina Elopere ditangkap Polda Metro Jaya dalam dua hari yakni pada 30 dan 31 Agustus 2019.

Keenam aktivis tersebut ditangkap pihak kepolisian sebab disebut kedapatan membawa bendera Bintang Kejora di depan Istana Merdeka pada aksi 28 Agustus 2019 lalu. Akibat penangkapan tersebut, keenam aktivis dijadikan tersangka dan dijerat Pasal 106 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait keamanan negara.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan