Kuasa negara dalam cadar dan celana cingkrang PNS
Pada 30 Oktober 2019 dalam lokakarya “Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid” di Hotel Best Western, Jakarta, Menteri Agama Fachrul Razi melontarkan wacana melarang pengguna nikab atau cadar masuk ke lingkungan instansi pemerintah.
Menurut Fachrul, PNS tak boleh pakai tutup muka. Alasan mantan Wakil Panglima TNI itu karena keamanan, setelah terjadi peristiwa penusukan mantan Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto di Pandeglang, Banten.
Bukan hanya cadar, Fachrul pun berkomentar soal celana cingkrang. Pada 31 Oktober 2019 di Kantor Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta, ia mengatakan pegawai negeri sipil (PNS) yang mengenakan celana cingkrang tak sesuai aturan.
Fachrul menyebut, wacana ini masih dalam kajian, dan bukan tak mungkin akan direkomendasikan Kementerian Agama (Kemenag).
Namun, pada 5 November 2019 dalam pertemuan perkenalan dengan Komisi VIII DPR di Hotel Sultan, Jakarta, Fachrul meminta maaf atas pernyataannya perkara cadar dan celana cingkrang. Ia merasa, pernyataannya tak ada yang salah, hanya terlalu cepat disampaikan.
Akan tetapi, pernyataan Fachrul sudah menimbulkan polemik di masyarakat. Beberapa waktu lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun meminta seluruh PNS untuk memenuhi peraturan mengenai tata cara berpakaian atau seragam yang sudah diatur dalam peraturan yang berlaku.
Menanggapi hal itu, Izzudin, salah seorang PNS di sebuah kementerian mengaku, wacana larangan cadar dan celana cingkrang bukan perkara yang substansial terkait kinerja seseorang.
Ia memang tak mengenakan celana cingkrang. Namun, ia melihat rekan kerjanya yang bercelana cingkrang, terkenal profesional dan sering memperoleh kepercayaan penugasan dari pimpinannya karena kinerjanya baik. Rekannya itu juga bisa bergaul dengan PNS lainnya, yang berbeda agama.
“Poinnya adalah urgensi profesionalitas dalam bekerja, sesuai aturan yang berlaku,” kata dia saat dihubungi Alinea.id, Rabu (6/11).
Sementara itu, pendiri Niqab Squad, Indadari Mindrayanti mengaku sedih dan prihatin atas wacana pelarangan cadar di lingkungan instansi pemerintah. Ia berharap, pemerintah lebih bijak dalam mengeluarkan peraturan yang bersentuhan dengan hak setiap warga negara.
“Jika pelarangan cadar diterapkan di lingkungan instansi pemerintahan, nanti kantor, sekolah, dan institusi lain menyusul ikut-ikutan,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (6/11).
Beragam aturan
Sepanjang sejarah, ada beberapa aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait aturan pakaian PNS. Pada masa Orde Baru, ada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 1972 tentang Djenis-Djenis Pakaian Sipil.
Di dalam aturan itu, disebutkan ada lima jenis pakaian sipil, yakni pakaian sipil harian, pakaian sipil resmi, pakaian sipil lengkap, pakaian sipil dasi hitam, dan pakaian sipil nasional.
Disebutkan, pakaian sipil harian berupa celana panjang dan jas dengan potongan leher berdiri dan terbuka; lengan pendek; tiga saku, satu atas kiri, dan dua bawah kanan dan kiri; kancing lima buah; serta warna celana dan jas sama.
Lalu, pada 1990 terbit Keppres Nomor 50 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1972 tentang Jenis-Jenis Pakaian Sipil. Keppres ini hanya mengubah ketentuan Pasal 1 ayat 2 huruf e di dalam Keppres Nomor 18 Tahun 1972 tentang pakaian sipil nasional.
Di masa Orde Baru, tangan rezim bukan hanya mengatur pakaian PNS, tetapi juga pakaian siswa. Pada akhir 1970-an hingga awal 1990-an, terjadi diskriminasi terhadap siswi yang mengenakan jilbab.
Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti di dalam buku Revolusi Jilbab: Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri Se-Jabodetabek, 1982-1991 (2002) menulis, pada 1979 Sekolah Pendidikan Guru Bandung mengasingkan sejumlah siswi berjilbab ke kelas tersendiri. Setahun berikutnya, SMA 3 dan SMA 4 Bandung melarang siswinya berjilbab.
Pada 1982, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, Menengah, dan Atas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan No.052/C/Kep/D.82. Isinya, melarang para pelajar muslimat memakai jilbab di sekolah dasar negeri, sekolah lanjutan tingkat pertama negeri, dan sekolah lanjutan tingkat atas negeri di seluruh Indonesia.
Di era pemerintahan Joko Widodo, aturan pakaian PNS tertulis di Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
Di dalam Pasal 12A Permendagri itu disebut, PNS pada Senin dan Selasa menggunakan pakaian dinas harian (PDH) warna khaki; Rabu menggunakan PDH kemeja warna putih, celana/rok hitam atau gelap; serta Kamis dan Jumat menggunakan PDH batik/tenun/pakaian khas daerah.
Pada 2018, Tjahjo Kumolo yang saat itu menjadi Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 025/10770/SJ Tahun 2018 tentang Tertib Penggunaan Pakaian Dinas dan Kerapian Aparatur Sipil Negara (ASN) di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Instruksi itu diteken pada 4 Desember 2018. Di dalamnya, mengatur pakaian ASN laki-laki harus mengenakan celana panjang dinas sampai ke mata kaki, serta ASN perempuan yang berhijab diminta memasukkan jilbab ke dalam kerah pakaian. Namun, lantaran menimbulkan polemik, instruksi itu dicabut pada 14 Desember 2018.
Kemudian, ada Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2018 tentang Tata Pakaian pada Acara Kenegaraan dan Acara Resmi. Di Pasal 4 ayat 5 disebutkan, pakaian ASN sehari-hari atau seragam resmi ditetapkan oleh kementerian/lembaga.
Islamofobia dan simbol agama
Menanggapi aturan pakaian bagi PNS itu, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengatakan, munculnya pernyataan pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan institusi pemerintah takbisa disebut sebagai pertanda gejala ismofobia.
Namun, di luar institusi pemerintah, menurutnya, ketakutan terhadap simbol-simbol agama tertentu patut dipertanyakan. Dalam konteks pelarangan cadar dan celana cingkrang, bila hal itu terjadi di luar institusi pemerintah, kata dia, bakal berpotensi menebalkan stigma.
“Sama saja dengan tidak dibenarkannya mewajibkan penggunaan jilbab terhadap siswa nonmuslim. Itu mendiskriminasi penganut agama tertentu,” ujar Beka saat dihubungi, Rabu (6/11).
Irene Zempi dan Neil Chakraborti di dalam buku Islamophobia, Victimisation, and the Veil (2014) menulis, perempuan Islam yang mengenakan nikab atau cadar, rentan menjadi korban islamofobia di ruang publik.
“Perempuan bercadar juga digambarkan selayaknya teroris yang berbahaya bagi keselamatan publik atas dasar penutup wajah yang menghalangi identifikasi,” tulis Irene dan Neil.
Irene dan Neil menjelaskan, perempuan bercadar juga dianggap penanda segregasi dalam masyarakat. Stereotip ini memberi pembenaran terhadap serangan islamofobia terhadap perempuan bercadar.
Cadar ditafsirkan pula sebagai pakaian religius yang berbeda karena visibilitasnya sangat mencolok dan menarik perhatian publik.
“Seolah-olah, sekali Anda mengenakan cadar, Anda tidak lagi memiliki identitas manusia,” tulis Irene dan Neil.
Sementara, Indadari Mindrayanti mengisahkan, kawan-kawannya dari komunitas Niqab Squad pun sudah kenyang menelan berbagai perlakuan kurang mengenakan. Di bandar udara, Indadari merasakan kurang nyaman.
“Yang mengenakan cadar diperiksa agak ekstra. Apalagi di airport Indonesia, di bagian imigrasinya itu mau cek wajah harus di depan petugas laki-laki dan buka cadar,” ujarnya.
Beka Ulung Hapsara menyarankan, sebaiknya nilai-nilai agama yang inklusif dan menjunjung penghormatan atas perbedaan semakin digiatkan, untuk menghapus ketakutan terhadap simbol-simbol agama.
Bisa diterapkan, tapi…
Di sisi lain, Beka menuturkan, pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan institusi pemerintah bisa diterapkan. Sebab, kebijakan pembatasan hanya diterapkan untuk PNS. Beka menegaskan, dalam teori hak asasi manusia, ekspresi keberagamaan dapat dibatasi.
Namun, kebijakan pembatasan harus ketat dan tak melanggar hak-hak lainnya. Lain soal jika pelarangan cadar dan celana cingkrang diterapkan di luar institusi pemerintah. Alasannya, ada potensi diskriminasi.
“Contoh sederhananya, negara tidak boleh melarang orang salat, tetapi negara boleh melarang orang salat di jalan. Salat di jalan itu ekspresi, ada unsur keamanannya, kemudian mengganggu kepentingan publik, makanya bisa dibatasi,” ujar Beka.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menganggap, wacana melarang cadar dan celana cingkrang terlalu menyederhanakan masalah dan mengatur urusan privat. Ia mempertanyakan korelasi antara pakaian dan perilaku radikal seseorang.
“Belum ada penelitian dengan kesimpulan (seperti itu). Ada orang bercelana rapi bisa menembak di New Zealand,” ujar Yandri saat ditemui di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10).
Selain menyakiti yang mengenakan cadar dan celana cingkrang, menurut politikus PAN ini terminologi radikal perlu diluruskan. Tujuannya, agar persepsinya tak berbeda-beda.
Ia tak setuju jika terminologi radikal disematkan pada komunitas atau agama tertentu. Sebab, bisa memancing konflik horizontal dan tindakan main hakim sendiri.
Kata Yandri, sebaiknya Menteri Agama Fachrul Razi fokus menuntaskan tugas pokok dan fungsinya, seperti merawat kerukunan beragama dan membenahi pelayanan haji.
Yandri juga mengingatkan Fachrul untuk tak gegabah menyimpulkan gaya pakaian sebagai acuan membuat kebijakan. Bila pelarangan cadar dan celana cingkrang diterapkan, Yandri khawatir bakal banyak permintaan pengaturan jenis pakaian lainnya.
“Hasilnya, bangsa Indonesia hanya sibuk memperdebatkan urusan pakaian,” ucapnya.