Komisi Yudisial diminta memeriksa tiga hakim Mahkamah Agung, yakni Salman Luthan, Syamsul Rakan Chaniago, dan M Askin karena mengabulkan kasasi perkara dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung.
Selain Komisi Yudisial, permintaan yang sama juga ditujukan kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan. Demikian permintaan tersebut disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan majelis hakim yang mengadili harus dijatuhi hukuman jika terbukti ditemukan adanya pelanggaran dalam memutuskan kasasi kepada mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
“Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memeriksa Hakim yang mengadili perkara Syafruddin Arsyad Temenggung. Jika ditemukan adanya pelanggaran, maka Hakim tersebut harus dijatuhi hukuman," kata Kurnia melalui keterangan resmi yang diterima di Jakarta pada Rabu (10/7).
Mahkamah Agung diketahui telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung dari tuntutan hukum. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, tetapi perbuatan tersebut bukan suatu tindak pidana.
Dengan demikian, Majelis Hakim Mahkamah Agung menyatakan melepaskan terdakwa Syafruddin dari segala tuntutan hukum. Selain itu juga memutuskan memerintahkan agar Syafruddin dikeluarkan dari tahanan.
Putusan itu diambil oleh majelis hakim yang diketuai oleh Salman Luthan. Ia didampingi hakim anggota Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin. Tetapi, dalam putusan tersebut, terdapat dissenting opinion atau perbedaan pendapat antara para hakim.
Ketua Majelis Salman Luthan menyatakan sependapat dengan Pengadilan Tinggi DKI yang menjatuhkan vonis bersalah pada terdakwa karena terbukti melakukan korupsi. Sementara itu, Hakim Anggota Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan Hakim Anggota M. Askin menyatakan perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.
Karena ketiga alasan hakim yang berbeda itulah, Kurnia merasa ada yang janggal ketika hakim memutus membebaskan Syafruddin. Padahal di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan bekas Kepala BPPN itu dinyatakan bersalah. Bahkan saat tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, majelis hakim memperberat hukuman Syafruddin.
“Padahal pada pengadilan sebelumnya Syafruddin dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam perkara ini, sehingga yang bersangkutan dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara. Tentu putusan ini akan berimplikasi serius pada tingkat kepercayaan publik pada lembaga peradilan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kurnia mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tetap melanjutkan proses hukum kepada tersangka BLBI lainnya, yakni konglomerat suami-istri, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Sebab, dia menganggap putusan tersebut tidak sama sekali dapat menggugurkan proses penyidikan KPK terhadap kedua tersangka tersebut.
"Perlu ditegaskan, banyak yang menganggap putusan MA ini dapat menggugurkan penyidikan KPK atas dua tersangka itu. Pendapat ini keliru, karena pada dasarnya Pasal 40 UU KPK telah menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jadi, KPK dapat tetap melanjutkan penyidikan dan bahkan melimpahkan perkara Sjamsul Nursalim ke persidangan," ujar Kurnia.