Akademisi membagikan tips untuk menghindari revenge porn yang dewasa ini sedang marak di media sosial. Istilah ini kemudian dimaknai sebagai konten pornografi tanpa persetujuan orang yang ada di dalam foto atau video tersebut sebagai wujud kecemburuan, balas dendam, maupun rasa tidak terima.
Dosen Ilmu Komunikasi UNITRI Malang Asfira Rachmad mengatakan, netizen dapat menghindarinya dengan tidak membagi-bagikan foto pribadi secara berlebihan kepada orang lain maupun lawan jenis. Hindari pula pengambilan foto secara eksplisit kepada diri sendiri. Ia juga menyarankan untuk menggunakan foto profil secara wajar dan sopan.
“Berikutnya adalah melindungi akses ponsel pribadi agar tidak diakses orang lain,” katanya dalam diskusi daring Gerakan Nasional Literasi Digital di Indonesia, yang dikutip, Selasa (25/7).
Oleh karena itu, ia mengingatkan pengguna internet untuk senantiasa berhati-hati dalam berselancar di dunia maya. Jangan sampai jejak yang tertinggal di dunia maya itu berpotensi untuk dicari, dilihat, dan dipublikasikan oleh orang lain.
“Penting bagi kita untuk mengetahui jenis jejak yang ditinggalkan dan apa dampaknya di kemudian hari,” tuturnya.
Sementara itu, manajer konsultan Anwar Sadat berpendapat, butuh upaya keras untuk perlindungan kekerasan seksual di jagat maya. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah lewat pendidikan dan kesadaran. Tak cukup dari itu, dukungan kuat berupa penegakan hukum juga diperlukan. Apabila sudah terlanjur ada kasus pelecehan seksual, maka sebaiknya penanganan harus dilakukan dengan cepat dan responsif.
“Antisipasi diri yang bisa dilakukan untuk mencegah timbulnya pelecehan seksual di ruang digital adalah dengan pengaturan keamanan dan privasi pada perangkat digital maupun pada akun media sosial. Gunakan kata sandi yang kuat dan aman. Lalu, hindari berbagi konten intim kepada orang lain,” tuturnya.
Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan SDM Relawan TIK Bali Ni Luh Putu Ning Septyarini pun mengakui. Saat ini sedang marak pelecehan seksual di ruang digital, terutama yang melalui media sosial.
Tindak pidana kejahatan pelecehan seksual melalui media sosial adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindakan asusila melalui sarana media informasi dan transaksi elektronik yang dapat menimbulkan trauma fisik dan psikis.
“Tindak pelecehan seksual yang sering terjadi di media sosial dapat berupa rayuan, godaan, atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya yang dapat dilakukan dengan cara chatting, komentar, direct message, mengirim foto, video bermuatan seksual atau pornografi melalui media sosial, seperti WhatsApp, Instagram, Twitter, YouTube, Facebook dan lain sebagainya,” ujarnya.
Faktor yang melatarbelakangi timbulnya pelecehan seksual itu, lanjutnya, disebabkan oleh rendahnya kompetensi literasi digital. Penyebab lainnya adalah kurangnya pengawasan bagi pengguna di kalangan remaja, serta rendahnya kesadaran atas konsekuensi hukum terhadap pelaku pelecehan seksual di ruang digital. Padahal, setidaknya ada tiga undang-undang (UU) yang mengatur tentang kejahatan pelecehan seksual, yaitu KUHP Pasal 282 Ayat 1; UU Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pornografi; dan UU Nomor 19 Tahun 2016 Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Sebagai warganet dan warga Negara Indonesia yang taat hukum, kita harus sadar pentingnya menjaga tindak tutur dan perilaku selama melakukan kegiatan di sosial media. Termasuk tindakan kekerasan seksual juga harus dihindari dalam berinteraksi di media digital. Sebaliknya, penerapan budaya digital yang baik harus selalu dapat diimplementasikan untuk menciptakan ruang lingkup digital yang lebih kondusif dan produktif,” ucapnya.