Pemerintah memastikan akan tetap memberikan kewenangan kepada menteri agama (menag) untuk memilih calon rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Langkah tersebut pun dikritik mengingat posisi pemimpin perguruan tinggi keagamaan (PTK) bukanlah jabatan politis.
"Rektor bukan jabatan politis yang harus dipilih oleh pejabat politik," ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, kepada wartawan, Rabu (16/11).
Politikus Partai Golkar ini menerangkan, mekanisme tersebut pernah dipertanyakannya saat Lukman Hakim Saifudin memimpin Kementerian Agama (Kemenag). Kala itu, dirinya meminta agar Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 68 Tahun 2015 terkait pemilihan rektor PTK di bawah Kemenag direvisi.
"Saya pernah menyampaikan agar aturan itu direvisi karena terkesan pemilihan itu sangat politis," katanya.
Dirinya pun heran dengan prosesi pemilihan rektor UIN Jakarta digelar di Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim), khususnya tahap wawancara kandidat. Padahal, bisa dilakukan di kampus UIN Jakarta atau kantor Kemenag.
"Soal proses wawancara calon rektor UIN Jakarta yang dilakukan di Surabaya, tentu bagi saya agak mengherankan. Untuk apa wawancaranya mesti di Surabaya? Kenapa tidak di kampus UIN Jakarta, misalnya, atau di Kantor Kementerian Agama RI di Jakarta?" tanya dia.
Bagi Ace, lembaga pendidikan seperti kampus mestinya dijauhkan dari kepentingan politik. Apalagi, yang paling mengetahui hal-hal strategis dan dinamika internal adalah pihak kampus itu sendiri.
"Kampus itu harus dijauhkan dari kepentingan politik. Pengelola kampus seperti rektor itu harus memiliki standar-standar akademis yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang tahu kampus itu, ya, orang kampus. Apalagi, UIN Jakarta yang memiliki banyak guru besar yang terhimpun dalam Senat UIN Jakarta," tuturnya.
Ketua Umum Ikatan Alumni UIN (Ikaluin) Jakarta ini pun mendorong proses pemilihan rektor dikembalikan seperti sebelumnya, dilakukan pihak-pihak terkait kampus bersama Kemenag. "Seperti halnya perguruan tinggi di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek Dikti."
Kritik senada sebelumnya dilontarkan Saiful Mujani melalui akun pribadi Twitternya, @saiful_mujani. Pangkalnya, pemilihan pimpinan PTK tempatnya mengabdi tidak dipilih senat, tetapi menag.
"Prosedur pemilihan rektor di UIN atau di bawah Depag pada intinya tak ditentukan oleh pihak UIN sendiri, seperti oleh senat, melainkan oleh menteri agama seorang diri. Mau-maunya menteri saja mau milih siapa. UIN dan senat Universitas tidak punya suara. Ini seperti lembaga jahiliah," twitnya, Minggu (13/11).
Apalagi, sambung pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini, senat UIN Jakarta sebatas mencatat para pendaftar dan memenuhi syarat. Hasil inventaris tersebut lalu diserahkan rektor kepada Depag untuk diseleksi tim. Tim itu kemudian memilih beberapa nama untuk diajukan kepada menteri, selanjutnya menentukan rektor terpilih.
"Transparansi tak nampak. Kasak-kusuk lobi alternatifnya. Sebagai guru di kampus ini, malu rasanya. Saya pernah bersuara agar pemilihan rektor dengan cara jahiliah itu diboikot saja. Tapi, eggak ada yang dengar," kicaunya lagi.
Sementara itu, Kemenag memastikan masih tetap melakukan pemilihan rektor UIN Jakarta sesuai aturan yang berlaku. Alasannya, Permenag 68/2015 dianggap masih relevan.
"Saya melihat PMA 68/2015 dalam semangat mengembalikan kampus sebagai civitas akademika bukan civitas politika," kata Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag, M. Ali Ramdhani, Selasa (15/11).