Lembaga Advokasi Halal (Indonesia Halal Watch) menyayangkan upaya pelegalan terhadap pernikahan beda agama masih terus berjalan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait hal itu.
MK secara nyata menolak keseluruhan permohonan pengesahan pernikahan beda agama sebagaimana Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dalam putusan MK No. 24/PUU/2022. Putusan telah diucapkan pada 31 Januari 2023.
Direktur Eksekutif LAH Ikhsan Abdullah mengatakan, dalam putusannya, MK juga tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi ataupun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan perkawinan. Maka dari itu tidak terdapat urgensi bagi mahkamah untuk bergeser dari pendirian pada putusan-putusan sebelumnya.
"Sayangnya, masih ada beberapa pihak yang berusaha mensiasati terjadinya pernikahan beda agama dengan dalih hak asasi manusia atau kebebasan berekspresi," kata Ikhsan kepada Alinea.id, Selasa (7/2).
Ikhsan menyebut, negara memang memberikan jaminan untuk setiap penduduk dapat memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Namun terdapat pembatasan sebagaimana diatur oleh UUD 1945 Pasal 28J Ayat 2 yang pada pokoknya terdapat beberapa batasan dan itu harus dipatuhi.
Maka dari itu, kata Ikhsan, MK telah menjalankan perannya sebagai The Guardian of Constitution atau Penjaga Konstitusi, dan sebagai Penafsir Tunggal atas Undang-Undang.
"Kami berharap agar tidak ada warga negara yang melakukan penyelundupan hukum, dan melakukan penyelundupan agama untuk mensiasati pernikahan beda agama. Karena apabila masih tetap dilakukan, berarti telah sengaja melawan Undang-Undang dan Melanggar Hukum Agama," ujarnya.
Menurutnya, pandangan ini juga ditujukan bagi perorangan dan LSM yang selama ini memfasilitasi terselenggaranya pernikahan beda agama atas nama kebebasan individu dan HAM, agar berhenti sebagai fasilitator. Apabila terus dilakukan, maka akan berhadapan dengan para penegak hukum dan keadilan, di samping dengan semua tokoh dan pemuka agama di Indonesia.
Mengingat pandangan semua organisasi keagamaan baik, NU, Muhammadiyah, Kristen, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu adalah sama. Oleh sebab, dalam pandangan agama apapun yang diakui di Indonesia, perkawinan berbeda agama tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena sistem hukum yang berlaku telah mengatur mengenai perkawinan haruslah seagama (Vide Putusan MK No. 24/PUU/2022 hal 454) .
"Lantas, mereka yang melakukan pernikahan beda agama, apalagi memfasilitasi terjadinya pernikahan beda agama, itu sangat perlu dipertanyakan, umat siapakah dan tunduk pada hukum yang mana?" ucap Ikhsan.