close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jaringan Muda Setara melakukan aksi dengan membawa poster saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (10/2). /Antara Foto.
icon caption
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Jaringan Muda Setara melakukan aksi dengan membawa poster saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta, Minggu (10/2). /Antara Foto.
Nasional
Selasa, 12 Februari 2019 18:27

Langkah bersama melawan kekerasan seksual

RUU PKS telah masuk tahapan penting dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2015-2019.
swipe

Pada 4 Februari 2019, pihak Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) mempertemukan Agni—bukan nama sebenarnya—dengan terduga pelaku pelecehan seksual HS, saat menjalani kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) di Maluku pada 2017.

Keduanya sepakat menandatangani penyelesaian kasus lewat jalur nonlitigasi atau secara internal UGM. 

Banyak pihak geram terhadap pihak kampus atas penyelesaian kasus ini.

Rentan kekerasan seksual

Kasus yang menimpa Agni mencuat, usai lembaga pers mahasiswa kampus itu melakukan liputan investigasi dan menuliskannya di situs mereka pada 2018. Kekerasan seksual dialami banyak perempuan di Indonesia.

“Sepanjang 2012–2013 saja, setiap dua jam terdapat tiga perempuan mengalami kekerasan seksual,” ujar Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana dalam konferensi pers di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).

Azriana menggambarkan latar belakang kenyataan berdasarkan hasil riset kasus kekerasan seksual di Indonesia yang didata sejak 2001. Di samping itu, jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat.

Jaringan Muda Setara melakukan aksi mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang berpihak kepada korban. (Antara Foto)

Pada 2014 tercatat 4.475 kasus kekerasan seksual dialami perempuan, menjadi 6.499 kasus pada 2015 dan 5.785 kasus pada 2016.

Laporan “Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2018” yang dikeluarkan Komnas Perempuan mencatat, kekerasan terhadap perempuan terjadi di tiga ranah, yakni ranah personal/privat, ranah publik/komunitas, dan ranah negara. Pelecehan seksual yang dialami Agni termasuk ke dalam ranah publik/komunitas.

Agni tak sendiri. PA, mahasiswi salah satu universitas swasta di Jakarta pun mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Peristiwa itu terjadi pada 2016, sewaktu dia masih berkuliah di Yogyakarta.

Dia mengatakan, saat itu berada satu mobil dengan seorang kerabat laki-laki ayahnya. Di tengah perjalanan, tanpa sepengetahuan orang atau anggota keluarga lainnya, dia mendapat ajakan untuk berhubungan badan.

Merasa takut, dia pun diam dan terpaksa bungkam. Pelecehan seksual itupun terjadi. Hingga kini, PA masih merahasiakan pengalaman pahitnya itu kepada kedua orang tuanya.

“Bisa dimarahi, terus diusir dari rumah nanti,” katanya.

Kenyataannya, kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan selama ini diduga masih banyak tertutupi. Menurut aktivis sosial perempuan dari Yayasan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu, Gracia Renata, masyarakat masih sulit mengakui kekerasan seksual juga dapat terjadi di lingkungan pendidikan. Selain itu, ada banyak siswa dan mahasiswa tak menyadari bahwa yang dia alami adalah bentuk kekerasan.

“Selama ini ruang pendidikan (masih) dianggap sebagai ruang-ruang intelektual yang dipandang nggak memungkinkan orang melakukan dan mengalami kekerasan seksual,” kata dia saat dihubungi, Selasa (12/2). 

Dalam catatan program pendampingan di sekolah dan universitas, Yayasan PUPA menemukan fakta, hampir semua peserta belajar mengalami satu atau lebih bentuk-bentuk kekerasan seksual.

“Orang yang sekolah itu dianggap sudah pasti paham dan enggak mungkin melakukan kekerasan (seksual). Padahal kenyataannya, hampir 70% korban itu siswa dan mahasiswa,” ujarnya. 

Sebagian pelaku tindak kekerasan seksual itu, kata Gracia, antara lain guru, kepala sekolah, guru olahraga, satpam, dan penjaga perpustakaan.

Pada 4 Februari 2019, pihak Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) mempertemukan Agni—bukan nama sebenarnya—dengan terduga pelaku pelecehan seksual HS, saat menjalani kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) di Maluku pada 2017.

Keduanya sepakat menandatangani penyelesaian kasus lewat jalur nonlitigasi atau secara internal UGM. 

Banyak pihak geram terhadap pihak kampus atas penyelesaian kasus ini.

Rentan kekerasan seksual

Kasus yang menimpa Agni mencuat, usai lembaga pers mahasiswa kampus itu melakukan liputan investigasi dan menuliskannya di situs mereka pada 2018. Kekerasan seksual dialami banyak perempuan di Indonesia.

“Sepanjang 2012–2013 saja, setiap dua jam terdapat tiga perempuan mengalami kekerasan seksual,” ujar Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana dalam konferensi pers di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (6/2).

Azriana menggambarkan latar belakang kenyataan berdasarkan hasil riset kasus kekerasan seksual di Indonesia yang didata sejak 2001. Di samping itu, jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat.

Jaringan Muda Setara melakukan aksi mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang berpihak kepada korban. (Antara Foto)

Pada 2014 tercatat 4.475 kasus kekerasan seksual dialami perempuan, menjadi 6.499 kasus pada 2015 dan 5.785 kasus pada 2016.

Laporan “Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2018” yang dikeluarkan Komnas Perempuan mencatat, kekerasan terhadap perempuan terjadi di tiga ranah, yakni ranah personal/privat, ranah publik/komunitas, dan ranah negara. Pelecehan seksual yang dialami Agni termasuk ke dalam ranah publik/komunitas.

Agni tak sendiri. PA, mahasiswi salah satu universitas swasta di Jakarta pun mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Peristiwa itu terjadi pada 2016, sewaktu dia masih berkuliah di Yogyakarta.

Dia mengatakan, saat itu berada satu mobil dengan seorang kerabat laki-laki ayahnya. Di tengah perjalanan, tanpa sepengetahuan orang atau anggota keluarga lainnya, dia mendapat ajakan untuk berhubungan badan.

Merasa takut, dia pun diam dan terpaksa bungkam. Pelecehan seksual itupun terjadi. Hingga kini, PA masih merahasiakan pengalaman pahitnya itu kepada kedua orang tuanya.

“Bisa dimarahi, terus diusir dari rumah nanti,” katanya.

Kenyataannya, kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan selama ini diduga masih banyak tertutupi. Menurut aktivis sosial perempuan dari Yayasan Pemberdayaan untuk Perempuan dan Anak (PUPA) Bengkulu, Gracia Renata, masyarakat masih sulit mengakui kekerasan seksual juga dapat terjadi di lingkungan pendidikan. Selain itu, ada banyak siswa dan mahasiswa tak menyadari bahwa yang dia alami adalah bentuk kekerasan.

“Selama ini ruang pendidikan (masih) dianggap sebagai ruang-ruang intelektual yang dipandang nggak memungkinkan orang melakukan dan mengalami kekerasan seksual,” kata dia saat dihubungi, Selasa (12/2). 

Dalam catatan program pendampingan di sekolah dan universitas, Yayasan PUPA menemukan fakta, hampir semua peserta belajar mengalami satu atau lebih bentuk-bentuk kekerasan seksual.

“Orang yang sekolah itu dianggap sudah pasti paham dan enggak mungkin melakukan kekerasan (seksual). Padahal kenyataannya, hampir 70% korban itu siswa dan mahasiswa,” ujarnya. 

Sebagian pelaku tindak kekerasan seksual itu, kata Gracia, antara lain guru, kepala sekolah, guru olahraga, satpam, dan penjaga perpustakaan.

Harapan kepada RUU PKS

Seiring dengan spirit gerakan “Me Too”, perjalanan panjang untuk menghapus kekerasan seksual di negeri ini menemukan secercah harapan. 

Komnas Perempuan telah merumuskan naskah akademik dan draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2015.

Menurut Azriana, ada 15 macam kekerasan seksual. Dia mengatakan, beragam kekerasan seksual tersebut, tak cukup terjangkau hanya dengan aturan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dari 15 macam kekerasan seksual itu, sembilan di antaranya termasuk tindak pidana, sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 RUU PKS, antara lain pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan perbudakan seksual. Sembilan bentuk kekerasan seksual ini, menurut Azriana, harus dicegah melalui pendekatan penegakan hukum.

“Kesembilan bentuk (kekerasan seksual) ini fakta, sudah terjadi. Tapi korbannya tidak bisa dilindungi. Ini perlu dicegah dengan pendekatan penegakan hukum,” katanya.

Dukungan kepada Agni, yang menjadi korban kekerasan seksual. (Antara Foto).

Sedangkan enam bentuk kekerasan seksual lainnya, yakni intimidasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, pemaksaan kehamilan, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan kontrol seksual.

Enam bentuk kekerasan seksual tadi, menurut Azriana, selain bisa dicegah melalui edukasi, juga bisa melalui kebijakan, seperti perubahan sistem pendidikan dan penghapusan diskriminasi.

Hingga hari ini, pembahasan RUU PKS telah masuk tahapan penting dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2015-2019.

Terkait hal itu, Komisoner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, pihaknya terus menggelar pertemuan rutin dengan anggota DPR, terutama Komisi VIII DPR yang menangani urusan agama dan sosial.

“Kami sudah cukup dengan RUU PKS yang ada sekarang. Yang kami dan para anggota di DPR sekarang upayakan adalah agar bahasa dalam RUU bisa lebih memasyarakat, sehingga tidak membingungkan. Mudah-mudahan bisa lebih dimengerti dan dipahami,” kata Mariana ketika dihubungi, Selasa (12/2).

Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, RUU PKS sangat penting bagi fungsi pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi korban. Kini, pembahasan di tingkat panitia kerja Komisi VIII DPR sedang merundingkan pokok-pokok daftar isian masalah RUU PKS.

“Kami akan menyandingkan antara DIM (daftar isian masalah) yang kami miliki dengan DIM yang dimiliki pemerintah. RUU PKS ini diarahkan untuk memberikan hukuman efek jera bagi para pelakunya,” kata Ace saat dihubungi, Selasa (12/2).

Selain itu, kata dia, aturan dalam RUU PKS bertujuan melindungi warga negara dari tindak kekerasan seksual, terutama perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Namun, saat tengah dibahas di tingkat panitia kerja, berbagai hoaks mengemuka terkait RUU PKS.

Sebagian hoaks menyebut, RUU PKS akan diarahkan untuk mengizinkan hubungan seksual di luar pernikahan atau zina, dan memperbolehkan hubungan sesama jenis. Baik Komnas Perempuan maupun Komisi VIII DPR menampik hoaks tersebut.

“Hal itu (hoaks terkait RUU PKS) tidak akan pernah ada. Dan, (bila ada) kami pasti akan menghapusnya, baik secara eksplisit maupun implisit,” ujar Ace.

Mariana juga meluruskan agar tak terjadi kekeruhan di masyarakat, terlebih menjelang Pemilu 2019.

“Bunyi-bunyi dalam hoaks itu dapat dipastikan tidak sesuai dengan rujukan dalam RUU PKS. Barangkali masyarakat sedang panas di masa jelang Pemilu 2019, sehingga sekali disulut orang mudah percaya. Tapi, sesungguhnya tidak benar,” kata Mariana.

Adapun keprihatinan lain yang ingin diatasi melalui aturan RUU PKS adalah mendampingi para penyintas. Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati mengatakan, selama ini korban kekerasan seksual kerap berjuang mengatasi masalahnya sendiri. Maka, kata dia, RUU PKS bermaksud mendorong pemenuhan hak-hak bagi korban, seperti pemulihan psikologis dan perlindungan hukum.

“RUU PKS ini ingin menguatkan peran pencegahan dan menciptakan paradigma baru yang menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual,” kata Sri.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan