Langkah integrasi BRIN yang penuh risiko
Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta Profesor Azyumardi Azra meyakini peleburan empat lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merupakan malapetaka bagi riset Indonesia. Ia tak yakin BRIN bisa langsung berjalan. Waktu konsolidasi selama dua tahun merupakan tenggat yang tidak mudah.
Empat LPNK yang hendak diintegrasikan, yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kata Azra, memiliki tradisi penelitian, sistem, paradigma, dan praktik yang mapan.
"Jika dilebur, apa BRIN bisa menangani? Jika dilebur, BRIN akan amat gemuk. BRIN bukan kementerian dan anggota sidang kabinet. Karena itu posisi tawarnya tak kuat. Tidak pada tempatnya dilebur, empat LPNK itu harus diselamatkan," kata Azra dalam sebuah webinar, Selasa (15/6).
Rencana peleburan bertiup kencang setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN, 28 April lalu. Diatur di Pasal 69 ayat (2) Perpres tersebut, LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN bakal berubah menjadi organisasi pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (OP litbangjirap atau OPL) di lingkungan BRIN.
Bukannya dilebur, kata Azra, empat lembaga itu seharusnya diperkuat dengan mengguyur dana yang memadai.
"Jika belajar dari negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat (AS), riset mereka maju karena lembaga riset diguyur dana yang tak terbatas. Perguruan tinggi mestinya diguyur dana serupa, bukan mereka mencari dana sendiri lewat SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) dan macam-macam," kata Azra.
Peraih doktor sejarah dari Columbia University ini meyakini, BPPT dan kawan-kawan itu lembaga yang mapan dengan warisan historis. Jika selama ini belum bisa menelurkan inovasi yang hebat, itu terjadi bukan karena kelembagaan. Tapi lantaran dana yang cekak.
Rentang 2014-2019, anggaran riset dan teknologi (ristek) hanya 0,28% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Anggaran ini amat jauh dibandingkan dengan Korsel (4,81% dari PDB), Jepang (3,26%), dan China (2,19%). Di ASEAN, anggaran Indonesia juga kalah dari Singapura (1,94%), Malaysia (1,44%), dan Thailand (1,0%).
Celakanya, anggaran yang kecil itu pun hanya 43,72% yang digunakan untuk aktivitas penelitian dan pengembangan (litbang). Sisanya mengalir untuk operasional. Karena BRIN telanjur berdiri, kata Azra, lembaga ini harus fokus koordinasi, sinkronisasi, dan memperbesar anggaran. "Dengan melobi presiden dan kementerian."
Integrasi bukan peleburan
Langkah peleburan juga ditentang Andi Yuliani Paris. Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini turut membidani lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas IPTEK). Pasal 48 UU Sisnas Iptek yang sering dijadikan rujukan peleburan lembaga, kata Yuliani, adalah salah besar.
Pasal 48 tertulis, BRIN dibentuk untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Maksud dari 'integrasi' pada pasal itu dijelaskan lebih lanjut dalam diktum pada bab penjelasan.
“Yang dimaksud dengan terintegrasi adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi, dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional,” bunyi penjelasan Pasal 48.
Menurut Yuliani, Pasal 48 tidak memandatkan integrasi atau peleburan lembaga. Tapi integrasi perencanaan, program, dan anggaran. Jika dipaksakan, BRIN berpeluang digugat. "Lubang hukumnya banyak. Lagi pula, Perpres 33/2021 tidak mengamanatkan BRIN sebagai pelaksana UU Sisnas Iptek," kata Yuliani saat rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan BRIN, 9 Juni lalu.
BRIN dibentuk, kata peraih doktor administrasi publik dan ilmu pemerintahan ini, untuk mengoordinasikan litbang-litbang di kementerian/lembaga (K/L). Total anggaran riset di litbang K/L pada 2016 mencapai Rp24,9 triliun. Karena anggaran tercecer dan riset tumpang tindih tanpa koordinasi, hasilnya tidak tampak.
Dalam salah satu sidang kabinet terbatas, Presiden Jokowi pernah mempersoalkan ini. Menurut Jokowi, karena anggaran tercecer, besarannya tidak kelihatan. "Apa hasilnya Rp24,9 triliun? Saya tanya. Anggaran harus diprioritaskan untuk hal-hal yang strategis, harus fokus," jelas Jokowi, 9 April 2018.
Karena itu, jelas Yuliani, BRIN dihadirkan untuk mengoordinasikan riset di litbang-litbang K/L. "BRIN idealnya jadi Bappenasnya di bidang riset atau seperti Badan Pengelola Perbatasan Nasional. BRIN bukan lembaga pelaksana litbangjirap. Makanya saat membahas (UU Sisnas Iptek), kami panggil Menteri PAN-RB," jelas Yuliani.
Marlinda Irwanti, Wakil Ketua Pansus RUU Sisnas Iptek, mengamini penjelasan Yuliani. Tugas BRIN, kata Irwanti, menyinergikan lima lembaga iptek yang ada, seperti isi Pasal 42 UU Sisnas Iptek. Yaitu lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pengkajian dan penerapan, perguruan tinggi, badan usaha, dan lembaga penunjang. "Bukan meleburkan," kata Irwanti, Selasa (16/6).
Di pasal-pasal berikutnya, seperti Pasal 49 ayat 2, Pasal 50, 72, 73, dan 80 ayat 2, kata Irwanti, lima lembaga iptek seperti diatur di Pasal 42 tetap harus ada. Diakui eks legislator Partai Golkar ini, sinergi lembaga iptek belum maksimal.
"Pengelolaan hasil invensi dan inovasi untuk memperkuat kelembagaan, bukan peleburan," kata Direktur Pascasarjana Universitas Sahid itu.
Tafsir pemerintah
Tafsir berbeda diutarakan Laksana Tri Handoko. Kepala BRIN itu menjelaskan, tidak mungkin ada integrasi tanpa peleburan lembaga. Mengacu pada Perpres 33/2021, kata mantan Ketua LIPI itu, yang dilebur entitasnya, bukan tugas dan fungsi lembaga. Ini tak hanya menjangkau LPNK, tapi juga badan-badang litbang di K/L.
"Integrasi, (lembaga) dilebur tak dilarang. Ini ranah eksekutif, yakni Presiden. Saya menjalankan yang diperintah Presiden. Perpres tertulis jelas, BRIN harus mengintegrasikan, termasuk (litbang) di K/L (kementerian/lembaga). Ini bukan posisi saya. Ini tak melanggar UU karena di UU tak melarang," jelas Handoko, Selasa (16/6).
LPNK dan badan litbang K/L, kata Handoko, adalah lembaga pemerintah. Bukan lembaga aparatur sipil negara atau ASN.
"Kalau Kementerian Keuangan setuju, Presiden setuju dipindah, ya, dipindah. Selesai. ASN, kan, ikut. Pasti. Saya Kepala LIPI terakhir. Dipikir saya tidak sedih kalau perintahnya dipindah," tutur doktor teori fisika dari Hiroshima University itu.
Ia menyakini, model ini akan memecahkan dua problem fundamental riset di Indonesia. Pertama, riset didominasi pemerintah. Rasionya 80% pemerintah, sisanya swasta. Ini berkebalikan dari kondisi di negara maju. Kedua, critical mass rendah. Total jumlah peneliti dan nominal anggaran memang besar. Tapi rasio peneliti per sejuta penduduk dan nilai anggaran terhadap PDB amat kecil. Rasio peneliti per sejuta penduduk di Indonesia hanya 4,4%, jauh dari Malaysia (10,6%), Singapura (29%), dan Korsel (33,3%).
Riset, jelas Handoko, adalah kompetisi. Karena anggaran tercecer, tiap lembaga riset hanya kebagian remah-remah. Ketelanjuran model seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa dan mustahil berkompetisi.
"Riset itu kompetisi kebaruan. Kalau cuma nomor dua, ya, enggak ada artinya. Tidak bisa dapat paten lagi, dan itu otomatis tidak memiliki dampak ekonomi apa pun," kata dia.
Handoko mengatakan, kata kuncinya adalah menciptakan integrasi agar bisa memberikan dampak dalam waktu singkat. Ia rencanakan dua tahap. Tahap pertama akan dituntaskan 1-2 bulan ini. Tahap kedua, bulan September-Oktober 2021. Integrasi total dimulai anggaran 2022.
"Prinsip dasar di tahap awal, periset dan unit riset tak terdampak. Yang terdampak di eselon I," kata dia.
Langkah berisiko
Azyumardi Azra tidak optimistis langkah-langkah BRIN bakal mulus. Selain BRIN akan menjadi amat gemuk, tak ada jadi warisan (legacy) positif bagi Jokowi. Secara teknis BRIN juga kesulitan meleburkan lembaga riset yang kepalanya diangkat dengan Keppres.
Karena BRIN telanjur berdiri, Azra mengusulkan agar LPNK yang ada dibiarkan tetap ada. BRIN bertugas memperjuangkan anggaran riset lebih besar dan menyinergikan lembaga yang ada. Jika bukan itu yang dilakukan, ekosistem riset dan inovasi akan tetap sulit.
Ia juga mempertanyakan kemampuan BRIN mendorong dunia industri agar berperan besar dalam dunia riset sinergi triple helix. Juga rencana BRIN mengintegrasikan badan litbang K/L. Menurut Azra, BRIN tidak didukung oleh situasi.
"Ketimbang melakukan hal-hal yang tidak berprospek baik ke depan, kucurkan saja anggaran yang besar ke lembaga yang sudah teruji. Jangan recehan."
Kemenristek resmi bubar & dilebur ke Kemendikbud. Pemerintah tunjuk BRIN sbg penggantinya. Lantas bagaimana model integrasi yg tepat agar tdk terjadi kemunduran & mengorbankan dunia iptek & inovasi? Temukan jawabannya di https://t.co/VQ7HSt7bJm#Brin #Iptek #Teknologi pic.twitter.com/h6iCOzPKqM
— Alineadotid (@alineadotid) June 17, 2021
Andi Yuliani Paris juga mengingatkan agar BRIN ekstra hati-hati dan tidak terburu-buru mengeksekusi peleburan. Tenggat dua tahun harus dimanfaatkan untuk menemukan platform yang jelas. Jangan sampai lembaga-lembaga riset yang sudah mapan dan punya sejarah panjang hangus karena BRIN.
"Jika itu terjadi, sedih sekali. Bukan kemajuan, tapi kemunduran iptek," kata Yuliani.
Saat ini, kata Yuliani, para peneliti dan perekayasa masih bersabar diri meski diliputi keresahan luar biasa karena rencana integrasi itu. Ia mengetahui itu karena menjadi anggota Dewan Pengarah Ikatan Alumni Jerman dan Ikatan Alumni Program Habibie.
"Bagaimana mencapai daya saing bangsa jika perisetnya loyo dan tak punya motivasi karena ketidakjelasan. Tolong diperhatikan benar. PR (pekerjaan rumah) BRIN harus bisa mengintegrasikan anggaran litbang K/L," kata dia.