close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Data hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit bisa dijadikan acuan untuk menyelesaikan reforma agraria. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Data hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit bisa dijadikan acuan untuk menyelesaikan reforma agraria. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Rabu, 15 Mei 2019 18:18

Langkah mundur pemerintah menutup data HGU perkebunan sawit

Beberapa waktu lalu, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian menerbitkan surat untuk menutup data hak guna usaha perkebunan sawit.
swipe

Di dalam laporan catatan akhir tahun 2018 bertajuk “Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik”, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama 2018 ada 410 konflik agraria, dengan luasan wilayah mencapai 807.177,613 hektare.

Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik agraria paling tinggi, dengan 144 (35%) kasus. Dari jumlah tersebut, sepanjang 2018 ada 83 kasus (60%) terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Provinsi Riau tercatat sebagai wilayah paling sering terjadi konflik agraria, dengan rincian 42 konflik pada 2018. Menurut laporan KPA, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri menjadi faktor utama penyebab konflik agraria di Riau.

Riau sendiri merupakan provinsi dengan area perkebunan sawit terluas di Indonesia, mencapai 2,4 juta hektare. Selain di Riau, konflik agraria yang didominasi perkebunan sawit juga terjadi di Sumatera Selatan dan Lampung.

Pemerintah pun dituding melanggengkan konflik agraria, dengan terus menerus memberikan perpanjangan izin hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. Bahkan, ada juga izin HGU yang sudah habis masa berlakunya, tetapi dibiarkan beroperasi.

Salah satu contohnya PT Perkebunan Nusantara XIV di Sulawesi Selatan. Perusahaan pelat merah ini masih melakukan praktik usahanya di atas lahan seluas 22.490 hektare, meski sudah tak lagi mengantongi izin HGU.

Masalah lainnya muncul. Pada 6 Mei 2019, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Pangan dan Pertanian merilis surat Nomor TAN.03.01/265/D.II.M.EKON/05/2019, menyoal data dan informasi perihal kebun kelapa sawit yang ditutup untuk publik.

Menyoal pelarangan informasi dan data kebun kelapa sawit dibuka ke publik sebelumnya diucapkan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, dan pimpinan perusahaan sektor kelapa sawit ini, menyatakan informasi HGU perkebunan kelapa sawit, tertutup untuk publik.

Bertentangan

Menanggapi hal ini, peneliti Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (PSA-IPB) Linda Rosalina mengatakan, sejak diputuskan Mahkamah Agung (MA), perintah MA tak pernah dieksekusi pihak kementerian.

"Padahal, putusan MA semata-mata ingin memecahkan informasi yang asimetris," kata Linda ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (14/5).

Linda menuturkan, surat yang diterbitkan Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian bertolak belakang dengan putusan MA, yang memastikan informasi HGU menjadi hak publik.

Sejumlah delegasi dari negara-negara Uni Eropa (UE) memperhatikan tandan buah segar kelapa sawit saat kunjungan perwakilan negara-negara Uni Eropa di perkebunan sawit PTPN V di Kabupaten Kampar, Riau, Kamis (9/5). /Antara Foto.

"Surat itu seolah ahistoris dari kasus-kasus terkait keterbukaan HGU yang sudah dimenangkan kelompok masyarakat sipil. Tentu kehadiran surat tersebut tidak mengindahkan putusan MA," ucapnya.

Sebelumnya, data HGU perkebunan sawit pernah digugat secara resmi oleh organisasi Forest Watch Indonesia (FWI) ke Komisi Informasi Publik. Gugatan itu bertujuan agar HGU dibuka ke publik hingga pada upaya hukum terakhir dengan keputusan inkracht di Mahkamah Agung.

Putusan kasasi MA juga dimenangkan pihak FWI pada 2017 lalu. Meski memenangkan gugatan dengan putusan inkracht, data tersebut tak kunjung diserahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATN/BPN).

Di sisi lain, surat Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian bertentangan dengan putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/TUN/2017, yang menegaskan bahwa HGU merupakan informasi yang sifatnya terbuka.

Selain itu, surat tersebut bertentangan pula dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Di dalam Pasal 11 ayat 2 undang-undang itu disebutkan, data HGU merupakan informasi yang bersifat wajib tersedia setiap saat.

Hak privat

Saat diminta konfirmasi terkait penutupan data HGU perkebunan sawit, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud mengatakan, alasan pemerintah tidak membuka data izin HGU bertujuan melindungi kekayaan nasional.

“Lagi pula ada hak privat yang mesti dilindungi oleh pemerintah,” kata Musdhalifah saat dihubungi, Kamis (16/5).

Selebihnya, Musdhalifah tak banyak komentar terkait hal ini. "Pak Menko Perekonomian kan sudah merespons. Jawaban saya sama," kata Musdhalifah.

Senada dengan Musdhalifah, Kepala Bagian Humas Kementerian ATR/BPN Horison Mocodompis pun mengatakan alasan hak privat yang mesti dilindungi, terkait penutupan data HGU perkebunan kelapa sawit.

Ia menjelaskan, di dalam HGU ada hak perdata yang berpotensi melanggar aturan bila dibuka. Meski ada perintah dari MA untuk membuka, Kementerian ATR/BPN kata Horison, perlu mengkaji lebih mendalam agar langkahnya tak bertentangan dengan regulasi yang lainnya.

"Prinsipnya, kalau di pemerintah untuk menjalankan undang-undang tidak boleh dengan menabrak undang-undang yang lainnya," kata Horison saat dihubungi, Kamis (16/5).

Horison membantah bila data HGU tak dibuka, maka masyarakat akan sulit menyelesaikan konflik agraria. Menurut dia, Kementerian ATR/BPN selama ini sangat terbuka mengenai data. Sehingga tak akan menghambat proses reforma agraria. Ia mengatakan, data HGU yang ditutup hanya data mengenai hak perdata, bukan data primer yang dipakai untuk melaksanakan reforma agraria.

Horison pun menuturkan, pemerintah sudah berhasil dalam pelaksanaan reforma agraria, seperti redistribusi lahan dan sertifikasi tanah.

"Kita itu terbuka kok. Yang dilakukan ada pensertifakatan tanah bagi transmigrasi dan redistribusi tanah itu terang benderang bisa dilihat di website, bagaimana perkembangannya di mana progresnya," kata dia.

Di dalam laporan catatan akhir tahun 2018 bertajuk “Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik”, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama 2018 ada 410 konflik agraria, dengan luasan wilayah mencapai 807.177,613 hektare.

Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik agraria paling tinggi, dengan 144 (35%) kasus. Dari jumlah tersebut, sepanjang 2018 ada 83 kasus (60%) terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Provinsi Riau tercatat sebagai wilayah paling sering terjadi konflik agraria, dengan rincian 42 konflik pada 2018. Menurut laporan KPA, perkebunan sawit dan hutan tanaman industri menjadi faktor utama penyebab konflik agraria di Riau.

Riau sendiri merupakan provinsi dengan area perkebunan sawit terluas di Indonesia, mencapai 2,4 juta hektare. Selain di Riau, konflik agraria yang didominasi perkebunan sawit juga terjadi di Sumatera Selatan dan Lampung.

Pemerintah pun dituding melanggengkan konflik agraria, dengan terus menerus memberikan perpanjangan izin hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. Bahkan, ada juga izin HGU yang sudah habis masa berlakunya, tetapi dibiarkan beroperasi.

Salah satu contohnya PT Perkebunan Nusantara XIV di Sulawesi Selatan. Perusahaan pelat merah ini masih melakukan praktik usahanya di atas lahan seluas 22.490 hektare, meski sudah tak lagi mengantongi izin HGU.

Masalah lainnya muncul. Pada 6 Mei 2019, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Pangan dan Pertanian merilis surat Nomor TAN.03.01/265/D.II.M.EKON/05/2019, menyoal data dan informasi perihal kebun kelapa sawit yang ditutup untuk publik.

Menyoal pelarangan informasi dan data kebun kelapa sawit dibuka ke publik sebelumnya diucapkan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution.

Surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, dan pimpinan perusahaan sektor kelapa sawit ini, menyatakan informasi HGU perkebunan kelapa sawit, tertutup untuk publik.

Bertentangan

Menanggapi hal ini, peneliti Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (PSA-IPB) Linda Rosalina mengatakan, sejak diputuskan Mahkamah Agung (MA), perintah MA tak pernah dieksekusi pihak kementerian.

"Padahal, putusan MA semata-mata ingin memecahkan informasi yang asimetris," kata Linda ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (14/5).

Linda menuturkan, surat yang diterbitkan Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian bertolak belakang dengan putusan MA, yang memastikan informasi HGU menjadi hak publik.

Sejumlah delegasi dari negara-negara Uni Eropa (UE) memperhatikan tandan buah segar kelapa sawit saat kunjungan perwakilan negara-negara Uni Eropa di perkebunan sawit PTPN V di Kabupaten Kampar, Riau, Kamis (9/5). /Antara Foto.

"Surat itu seolah ahistoris dari kasus-kasus terkait keterbukaan HGU yang sudah dimenangkan kelompok masyarakat sipil. Tentu kehadiran surat tersebut tidak mengindahkan putusan MA," ucapnya.

Sebelumnya, data HGU perkebunan sawit pernah digugat secara resmi oleh organisasi Forest Watch Indonesia (FWI) ke Komisi Informasi Publik. Gugatan itu bertujuan agar HGU dibuka ke publik hingga pada upaya hukum terakhir dengan keputusan inkracht di Mahkamah Agung.

Putusan kasasi MA juga dimenangkan pihak FWI pada 2017 lalu. Meski memenangkan gugatan dengan putusan inkracht, data tersebut tak kunjung diserahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATN/BPN).

Di sisi lain, surat Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian bertentangan dengan putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/TUN/2017, yang menegaskan bahwa HGU merupakan informasi yang sifatnya terbuka.

Selain itu, surat tersebut bertentangan pula dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Di dalam Pasal 11 ayat 2 undang-undang itu disebutkan, data HGU merupakan informasi yang bersifat wajib tersedia setiap saat.

Hak privat

Saat diminta konfirmasi terkait penutupan data HGU perkebunan sawit, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud mengatakan, alasan pemerintah tidak membuka data izin HGU bertujuan melindungi kekayaan nasional.

“Lagi pula ada hak privat yang mesti dilindungi oleh pemerintah,” kata Musdhalifah saat dihubungi, Kamis (16/5).

Selebihnya, Musdhalifah tak banyak komentar terkait hal ini. "Pak Menko Perekonomian kan sudah merespons. Jawaban saya sama," kata Musdhalifah.

Senada dengan Musdhalifah, Kepala Bagian Humas Kementerian ATR/BPN Horison Mocodompis pun mengatakan alasan hak privat yang mesti dilindungi, terkait penutupan data HGU perkebunan kelapa sawit.

Ia menjelaskan, di dalam HGU ada hak perdata yang berpotensi melanggar aturan bila dibuka. Meski ada perintah dari MA untuk membuka, Kementerian ATR/BPN kata Horison, perlu mengkaji lebih mendalam agar langkahnya tak bertentangan dengan regulasi yang lainnya.

"Prinsipnya, kalau di pemerintah untuk menjalankan undang-undang tidak boleh dengan menabrak undang-undang yang lainnya," kata Horison saat dihubungi, Kamis (16/5).

Horison membantah bila data HGU tak dibuka, maka masyarakat akan sulit menyelesaikan konflik agraria. Menurut dia, Kementerian ATR/BPN selama ini sangat terbuka mengenai data. Sehingga tak akan menghambat proses reforma agraria. Ia mengatakan, data HGU yang ditutup hanya data mengenai hak perdata, bukan data primer yang dipakai untuk melaksanakan reforma agraria.

Horison pun menuturkan, pemerintah sudah berhasil dalam pelaksanaan reforma agraria, seperti redistribusi lahan dan sertifikasi tanah.

"Kita itu terbuka kok. Yang dilakukan ada pensertifakatan tanah bagi transmigrasi dan redistribusi tanah itu terang benderang bisa dilihat di website, bagaimana perkembangannya di mana progresnya," kata dia.

Pembangkangan

Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengkritik pedas terbitnya surat yang memberikan sinyal menutup data HGU perkebunan kelapa sawit ke publik. Ia mengatakan, keberadaan surat tersebut bentuk pembangkangan terhadap langkah Presiden Joko Widodo yang berniat mempercepat reformasi agraria.

Padahal, sebelumnya Jokowi sempat mengadakan rapat terbatas, dan memerintahkan menteri terkait untuk menuntaskan permasalahan agraria. Dalam rapat terbatas tersebut, menurut Nurdin, pesan Jokowi sangat jelas.

“Presiden menginginkan pemerintah berposisi di belakang masyarakat saat terjadi perselisihan antara masyarakat dan korporasi. Sebab, presiden menyebut, masyarakat lebih dulu mengakses tanah tersebut,” kata Nurdin saat dihubungi, Selasa (14/5).

Namun, ujar Nurdin, sayangnya pihak kementerian malah membuat langkah yang kontra dengan cara menutup akses data HGU.

Menurut Nurdin, data HGU sangat penting jika ingin menyelesaikan konflik agraria. Bagi masyarakat, data HGU juga berguna menjadi instrumen untuk melihat adanya ketimpangan lahan, karena banyak lahan yang tumpang tindih dengan lahan masyarakat.

Penyelesaian konflik, kata Nurdin, salah satunya bisa dilakukan dengan membuka data HGU. Dari situ akan terlihat apakah terdapat tumpang tindih lahan atau tidak.

"Kalau dibilang tidak boleh membuka data berarti tidak mau menyelesaikan konflik. Dia membangkang," tutur Nurdin.

Di dalam data HGU tercantum nama pemilik, luasan wilayah HGU, jenis komoditas, dan jangka waktu penggarapan. Poin-poin itu penting untuk mengatasi sengketa dan konflik agraria.

Oleh karena itu, ia mendesak agar surat edaran yang mengecualikan data HGU untuk akses oleh publik segera dicabut. “Jika tidak, keinginan pemerintah untuk menuntaskan reforma agraria sulit terealisasi,” katanya.

Sejumlah pekerja mengumpulkan sawit-sawit dari sebuah perkebunan. /Antara Foto.

Langkah mundur

Senada dengan Nurdin, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wahyu A. Perdana pun mengatakan, keterbukaan informasi HGU bisa menekan potensi konflik lahan antara masyarakat dan korporasi.

Akan tetapi, terbitnya surat Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian malah memberikan isyarat langkah mundur pemerintah dalam hal tata kelola lahan. Selain itu, terdapat ketidakcocokan dengan keinginan pemerintah, yang hendak menelusuri izin-izin perkebunan sawit.

"Alih-alih melaksanakan review izin sebagaimana amanat Inpres 8/2018, belum ada satu pun laporan publik terkait ini, yang muncul justru langkah mundur oleh pembantu-pembantu presiden," kata Wahyu ketika dihubungi, Rabu (15/5).

Menurut KPA dalam catatan akhir tahun 2018 berjudul “Masa Depan Reforma Agraria Melampaui Tahun Politik”, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit ini berisi 12 instruksi kepada lima kementerian (Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Dalam Negeri) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, termasuk pemerintah daerah.

KPA pun mengapresiasi Inpres ini sebagai langkah yang selaras dengan komitmen pemerintah menjawab persoalan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah. Inpres ini merupakan evaluasi terhadap perizinan lama dan baru terhadap perkebunan sawit.

Wahyu pun menuturkan, dampak lain yang dikhawatirkan bakal terjadi adalah timbulnya praktik korupsi dalam proses izin perkebunan. Sebab, data yang ada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sangat berbeda.

"Ini akan melegalkan praktik korupsi pada perizinan perkebunan, sebab menghambat sinkronisasi data antarkementerian, mengingat perbedaan data yang cukup signifikan antara BPN dan Kementan," kata dia.

Wahyu bahkan mengatakan, tertutupnya data HGU ini merupakan wujud bila pemerintah berpihak kepada korporasi. Hal itu, kata Wahyu, dilakukan secara terang-terangan.

Apalagi, lanjut dia, sektor perkebunan sawit, yang dianggap menyimpan konflik agraria tertinggi mendapat banyak sorotan. Wahyu menyitir pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pernah mengatakan, perkebunan merupakan sektor yang banyak aliran gelapnya.

"Kalau kita simak pernyataan KPK, itu aliran dana gelap paling banyak terjadi di sektor perkebunan," ujar Wahyu.

img
Armidis
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan