Lansia vs Covid-19: Terancam terinfeksi, tak jadi prioritas vaksinasi
Sudah delapan tahun Didi Hendrayana, 62 tahun, menjadi tukang parkir di kawasan rumah toko, Pomad, Kota Bogor, Jawa Barat. Biasanya, dari jerih payah memarkir, ia mengantongi uang hingga Rp100.000 per hari.
Di tengah ancaman pandemi Covid-19, Didi sebenarnya punya harapan bisa bekerja dengan aman demi menghidupi keluarganya di kampung halaman, Kuningan, Jawa Barat. Meski waswas tertular virus di usianya yang sangat rentan, ia tetap harus bekerja menjadi juru parkir.
“Ya mau gimana lagi. Kebutuhan ekonomi,” kata Didi saat ditemui reporter Alinea.id, Kamis (28/1).
Vaksin bisa jadi salah satu cara mencegah Didi jatuh sakit karena infeksi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Walau agak meragukan masalah keamanan usai disuntik vaksin, tetapi ia tak menolak kalau menjadi penerima vaksin.
“Untuk kesehatan ya enggak apa-apa,” ujarnya.
Lansia tak masuk uji klinis
Akan tetapi, harapan Didi untuk segera mendapat suntikan vaksin Covid-19 tampaknya tak akan terwujud dalam waktu dekat. Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang ditetapkan pada 14 Desember 2020, terdapat daftar prioritas penerima vaksin.
Prioritas pertama, antara lain tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan, TNI, Polri, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lainnya. Prioritas kedua, antara lain tokoh masyarakat dan agama, pelaku perekonomian strategis, perangkat kecamatan, desa, dan RT/RW.
Prioritas ketiga adalah guru atau tenaga pendidik. Lalu, aparatur kementerian atau lembaga, aparatur pemerintah daerah, dan anggota legislatif. Kemudian, masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi. Terakhir, masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya.
Di samping kelompok yang disebutkan dalam Permenkes 84/2020 itu, warga usia 18-59 tahun juga menjadi prioritas penerima vaksin. Tak ada kategori orang lanjut usia (lansia) seperti Didi dalam prioritas.
Padahal, penduduk lansia di Indonesia cukup besar. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2020 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase lansia sebesar 9,78% atau sekitar 25 juta jiwa dari total penduduk 270,20 juta jiwa. Jumlah ini naik dibandingkan 2010, yang sebesar 7,59%. Dari segi usia, penduduk Indonesia yang termasuk kategori pralansia (45-59 tahun) mendominasi, dengan persentase 17,35%. Diikuti lansia muda (60-69 tahun) sebesar 6,38%.
Pada 2020 ada enam provinsi yang punya struktur penduduk lansia mencapai di atas 10%, yakni Yogyakarta (14,71%), Jawa Tengah (13,81%), Jawa Timur (13,38%), Bali (11,58%), Sulawesi Utara (11,51%), dan Sumatera Barat (10,07%).
Tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia pun didominasi kelompok lansia. Merujuk data Satgas Penanganan Covid-19 yang dipublikasikan di situs web covid19.go.id, penduduk berusia 60 tahun ke atas yang terinfeksi Covid-19 dan meninggal dunia persentasenya 46,9%. Sangat tinggi dibandingkan penduduk usia 46-59 tahun sebesar 32,8%, 31-45 tahun sebesar 13%, dan 19-30 tahun sebesar 4,9%.
Kumulatif kematian akibat Covid-19 di Indonesia per 1 Februari 2021 mencapai 30.277 orang. Dari jumlah tersebut, lansia yang meninggal dunia sebanyak 13.911 orang.
Catatan itu diakui Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Sinovac dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Kusnandi Rusmil tak dipertimbangkan saat menerima mandat melakukan uji klinis tahap tiga di Bandung. Seperti diketahui, uji klinis tahap tiga vaksin CoronaVac buatan Sinovac, China di Bandung diikuti 1.620 relawan berusia 18-59 tahun.
“Kami hanya diminta (uji klinis) 18-59 tahun. Dia (Sinovac) kan ingin punya data sendiri. Enggak akan dikasih vaksinnya kalau kita enggak ikuti,” ucap Kusnandi saat dihubungi, Kamis (28/1).
Kusnandi mengatakan, Indonesia hanya bertugas menjalankan teknis uji klinis, tanpa mengajukan catatan epidemiologi yang bisa menjadi pertimbangan. Ia menduga, Sinovac punya kepentingan riset, sehingga pihaknya tak bisa memaksakan kelompok lansia masuk dalam uji klinis vaksin, seperti yang dilakukan di Brasil dan Turki.
Di dua negara tersebut, uji klinis fase ketiga vaksin CoronaVac melibatkan ribuan lansia. Di Brasil, relawan vaksin sebanyak 13.060 orang, dari jumlah tersebut 1.260 orang adalah lansia. Bahkan, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang berusia 66 tahun sudah menerima vaksin CoronaVac.
“Dia (Sinovac) sudah mikir untuk lansia di tempat (negara) lain, enggak mikir kita lagi,” katanya.
Juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia mengatakan, pihaknya tengah menunggu data uji klinis vaksin CoronaVac dari Brasil dan Turki untuk memastikan keamanannya bagi lansia.
“Kami dengar hasilnya bagus. Aman dalam segi keampuhannya,” ujar dia saat dihubungi, Rabu (27/1).
“Ya nanti setelah kita mendapatkan data, mungkin dua atau tiga minggu lagi (akan direvisi emergency use authorization/EUA vaksin CoronaVac).”
Kusnandi menuturkan, vaksin CoronaVac belum final menjadi pilihan vaksinasi bagi lansia. Menurutnya, pilihan vaksin yang paling aman untuk lansia berasal dari Eropa dan Amerika Serikat.
“Usia 60 tahun ke atas akan diberikan vaksin lain. Nanti kan kita banyak pesan vaksin. Yang lansia ini kebagian vaksin yang aman, seperti Moderna atau Sanofi,” kata Kusnandi.
Harus tentukan sikap
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof.Dr. Hamka, Mouhamad Bigwanto menduga, program vaksinasi bertujuan untuk kepentingan pemulihan ekonomi. “Sehingga target vaksin pertama kali adalah usia produktif,” kata dia saat dihubungi, Rabu (27/1).
Namun, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, vaksinasi yang hanya menyasar ke kelompok usia produktif bukan jaminan utama roda perekonomian pulih kembali.
Faisal menegaskan, pemulihan ekonomi tergantung pada seberapa besar kepercayaan masyarakat, terutama kelas menengah dan atas, terhadap program vaksinasi pemerintah. Selain dari segi keamanan, tolok ukur lain terletak pada seberapa masif daya jangkau vaksinasi. Dari sana, kata dia, konsumsi sebagai titik krisis pemulihan ekonomi baru bisa merangkak ke tren positif.
“Karena kan 60%-nya kan konsumsi swasta. Jadi, kalau mereka percaya vaksin sudah banyak dan aman, artinya hambatan dalam melakukan kegiatan ekonomi, konsumsi, produksi, mobilitas menjadi minimal,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (27/1).
Anggota Komisi IX dari fraksi PKS Netty Prasetiyani Heryawan pun mendesak agar pemerintah membuat kebijakan untuk melindungi lansia. Menurut dia, vaksin-vaksin yang sudah dipesan pemerintah, beberapa bisa menjadi jawaban atas problem vaksinasi lansia. Selain CoronaVac buatan Sinovac, pemerintah memesan vaksin Novavax, COVAX/Gavi, AstraZeneca, dan Pfizer-BioNTech.
“Jangan sampai vaksinasi sudah dilakukan, tetapi penduduk lansia terabaikan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (28/1).
“Program vaksinasi ini haruslah berdasarkan prinsip keadilan untuk melindungi seluruh masyarakat agar terhindar dari Covid-19.”
Sementara itu, Mouhamad Bigwanto menegaskan, dalih keamanan vaksin CoronaVac untuk lansia sudah terbantahkan dengan bukti di Brasil dan Turki. Maka, ia mengingatkan agar lansia juga masuk prioritas penerima vaksin.
“Justru yang membutuhkan vaksin adalah usia lanjut terlebih dahulu. Apalagi yang dengan komorbit,” kata dia.
“Karena masih ada kemungkinan usia produktif meskipun sudah divaksin, masih bisa sebagai carrier virus.”
Di sisi lain, pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengatakan, CoronaVac bisa menjadi satu-satunya pilihan vaksin untuk lansia. Pertimbangan utamanya adalah soal keamanan vaksin itu, ditambah hasil uji klinis dari Brasil dan Turki.
“Kalau kita lihat dari profil efek samping, misalnya terjadi alergi atau lemas otot, itu memang lebih sedikit daripada yang terlihat pada vaksin mRNA,” ujar dia saat dihubungi, Kamis (28/1).
CoronaVac sendiri merupakan vaksin yang dibuat dengan metode mematikan virus. Sementara beberapa vaksin yang diproduksi ada pula yang dibuat dengan metode messenger RNA (mRNA), yakni teknik genetika khusus dengan memberi suatu potongan protein spike yang biasa terletak di permukaan luar virus corona.
Lebih lanjut, Ahmad mengatakan, seandainya pemerintah lebih memilih vaksin produksi Pfizer-BioNTech yang menggunakan metode mRNA, hal itu belum bisa menjamin lansia dapat divaksinasi. Di samping efek samping yang mengharuskan adanya pengawasan ketat bagi lansia setelah disuntik, alur distribusi vaksin menjadi tantangan lain.
Ahmad menilai, penyimpanan vaksin buatan perusahaan farmasi Amerika Serikat dan korporasi bioteknologi asal Jerman itu terbilang sulit diterapkan di Indonesia. “Vaksin mesti disimpan pada suhu minus 94 derajat Fahrenheit atau minus 70 derajat Celsius,” ujarnya.
Menurut Ahmad, pemerintah harus segera menentukan sikap vaksinasi Covid-19 terhadap para lansia, dengan segala konsekuensinya. “Secara scientific kita harus melihat, kalau enggak divaksin, berapa banyak yang meninggal,” katanya.
“Kalau setelah vaksinasi ada satu atau dua lansia yang meninggal, tapi bisa menyelamatkan lebih banyak lagi lansia, itu kan suatu risiko yang mungkin otoritas akan ambil.”