Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai melanggar hukum dan tak berdaya menghadapi politik DPR lantaran melantik Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Guntur Hamzah, sebagai hakim konstitusi. Guntur menggantikan Aswanto yang dicopot DPR dengan dalih kerap menganulir keputusan-keputusan dewan.
Pelantikan Guntur berlangsung di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (23/11). Pun berdasarkan usulan Senayan.
"Celakanya, niat buruk DPR untuk mengintervensi MK dibenarkan dan diikuti oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan melantik Guntur pada hari ini di Istana Negara," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan, Kurnia Rahmadana, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (23/11).
Dirinya menerangkan, pemberhentian Aswanto oleh DPR inkonstitusional karena tidak sesuai regulasi, baik di dalam UUD 1945 maupun undang-undang. Pemberhentian hakim konstitusi juga tidak bisa dilakukan di tengah jalan tanpa memenuhi syarat yang diatur di dalam Undang-Undang (UU) MK.
"Berpijak pada fakta itu, maka semakin jelas bahwa DPR dan Presiden sengaja untuk melupakan aturan-aturan tersebut untuk memuluskan niat jahat mengintervensi MK," katanya.
Prinsip imparsialitas dan kemandirian, menurut Kurnia, rusak akibat DPR memaksakan diri memiliki kewenangan mencopot dan mengusulkan hakim konstitusi tanpa kaidah. Itu juga mencerminkan melemahnya komitmen Indonesia terhadap praktik negara hukum yang ditegaskan pascareformasi.
"Bukan cuma itu, proses pemberhentian yang berujung pada pengangkatan hakim MK ini harus dinyatakan sebagai pelanggaran konstitusi," tegasnya.
Kurnia juga menyayangkan sikap MK secara kelembagaan. Pangkalnya, tak bersikap secara tegas dan terkesan membiarkan keserampangan ini terjadi. Apalagi, Guntur juga tidak terlihat menolak usulan DPR.
"Padahal, baik hakim-hakim MK maupun Sekjen MK, merupakan negarawan dan ahli hukum tata negara, yang tentu memahami urgensi imparsialitas MK," ucapnya.
Secara kelembagaan, bagi Kurnia, MK semestinya tegas menentang keputusan serampangan yang dilakukan DPR dan Jokowi. Apalagi, konstitusi dan masa depan MK sedang dipertaruhkan sehingga butuh progresivitas institusi dalam menjalankan perannya selaku guardian of the constitution.
"Terlepas ada atau tidaknya kewenangan tertulis untuk menentang keputusan DPR dan Presiden, perlu ada penyikapan tegas dari MK, terkhusus dari Anwar Usman selaku Ketua MK," tuturnya.
Kurnia berpendapat, ini menjadi penting dilakukan agar kekhawatiran sejumlah pihak terkait pernikahan Anwar Usman dengan adik Presiden Jokowi, Ida Yati, dapat menghadirkan konflik kepentingan (conflict of interest) terbantahkan. Jika tidak ada penyikapan, maka indikasi konflik kepentingan MK dengan Jokowi kian kental terlihat.
"Terlebih lagi, urgensi bagi MK agar dapat bertindak progresif menentang penyerangan inkonstitusional terhadap independensi MK dan tidak berlindung di balik kewenangan tekstual undang-undang memiliki signifikansi historis," tandasnya.