Undang-Undang Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) tidak mengamanatkan satu pun kementerian yang akan menjalankan peraturan ini. Padahal, sebuah kelaziman undang-undang menyebutkan eksplisit kementerian mana yang bertanggung jawab, terutama dalam perumusan kebijakan.
Ketiadaan kementerian yang diberi amanat menjalankan UU 11/2019 itu diakui oleh Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional/LAPAN Thomas Djamaluddin karena ada tarik-menarik antara Kementerian Riset dan Teknologi dan Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN. Ketika pemerintah membentuk kementerian baru, yakni Kementerian Investasi, Kemenristek dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. BRIN yang semula menempek di Kemenristek jadi otonom.
"Keabu-abuan itulah yang membuat peraturan tersebut (UU 11/2019( tidak memiliki kata menteri (sebagai pelaksana UU)," kata Thomas Djamaluddin dalam Alinea Forum bertajuk "Harmonisasi Regulasi BRIN", Rabu (7/7).
Selain itu, Thomas juga menegaskan mengenai makna integrasi. Menurutnya, ketika Ristek digabung dengan BRIN, maka ada dua wacana. Yang pertama, integrasi sebagai menggabungkan program, anggaran, dan lembaganya masing-masing.
Yang kedua, integrasi dalam makna sebagai peleburan. Itu artinya, tidak ada badan-badan lembaga riset, seperti BATAN, LAPAN, LIPI, dan BPPT, semuanya melebur menjadi satu. Namun, kata dia, hal ini akan sulit lantaran meleburkan semua badan lembaga berarti juga mengintegrasikan anggaran. Langkah ini bukanlah hal yang mudah. Hal itu ditambah dengan masih adanya kotak birokrasi yang menentukan anggaran.
Kendati begitu, Thomas beranggapan, bahwa ada jalan tengah dari permasalahan ini. Yaitu LAPAN sebagai lembaga litbang diintegrasikan ke dalam BRIN. BRIN yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden harus bertindak sebagai Lembaga Penyelenggaraan Keantariksaan. Nantinya, BRIN mendelegasikan fungsi teknis penyelenggaraan keantariksaan kepada organisasi riset LAPAN.