LBH luncurkan “Rapor Merah 4 Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan Di Ibukota”
Tepat pada Sabtu (16/10) kemarin, Anies Baswedan telah menjabat selama 4 tahun sebagai Gubernur DKI Jakarta seperiode masa jabatan 2017-2022. Bersamaan dengan itu, LBH Jakarta meluncurkan kertas posisi bertajuk “Rapor Merah 4 Tahun Kepemimpinan Anies Baswedan Di Ibukota”.
Dilansir dari situs resmi milik LBH Jakarta, di dalam kertas tersebut, LBH menyoroti 10 permasalahan yang berdasar pada kondisi faktual warga DKI Jakarta dan juga refleksi dari pihak advokasi LBH Jakarta selama masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan di DKI Jakarta.
Kasus pertama terkait dengan buruknya kualitas udara Jakarta yang dianggap sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Hal ini dianggap terjadi karena sikap abai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan.
Kasus kedua terkait dengan sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat dari swastanisasi air. Hal ini dapat dengan muda dijumpai di pinggiran-pinggiran kota, wilayah padat penduduk, dan lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak mampu di Ibukota. Selain itu, kualitas air di DKI Jakarta yang semakin memburuk, pasokan air yang kerap terhambat akibat kecilnya daya jangkau air, kualitas air yang juga semakin buruk. Dengan memburuknya kualitas air, nantinya dapat berakibat pada air yang tidak layak untuk digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat.
Kasus ketiga berkitan dengan penanganan banjir yang belum mengakar pada beberapa penyebab banjir. Banjir Jakarta memiliki beberapa tipe banjir, seperti banjir hujan lokal, banjir kiriman hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur dan banjir kombinasi. Beberapa dari tipe banjir ini sering kali dianggap oleh Pemprov sebagai akibat dari luapan sungai. Oleh karena itu, fokus penanganan ada pada aliran sungai di wilayah Jakarta dengan menghilangkan hambatan pada aliran sungai dari hulu ke hilir di wilayah DKI Jakarta dan masih tetap cenderung pada pengerasan (betonisasi).
Kasus keempat adalah penataan kampung kota yang belum partisipatif. Community Action Plan (CAP) adalah salah satu rencana aksi penataan Kampung Kota dengan menggunakan pendekatan partisipasi Warga. Kampung Akuarium merupakan salah satu contoh dari aksi penataan kampung ini. Namun dalam penerapannya, aksi ini dianggap tidak seutuhnya memberikan kepastian hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga Kampung Akuarium.
Kasus kelima terkait dengan ketidak seriusan Pemprov DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum. Salah satu contohnya adalah kekosongan aturan mengenai bantuan hukum pada level Peraturan Daerah di DKI Jakarta. Kekosongan aturan ini mampu menimbulkan berbagai dampak seperti lepasnya kewajiban pendanaan oleh Pemprov DKI Jakarta bagi bantuan hukum melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan penyempitan akses bantuan hukum bagi masyarakat miskin, tertindas dan buta hukum.
Kasus keenam adalah sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta. Pada awal masa kepemimpinannya, Anies membuat kebijakan penyelenggaraan rumah uang muka atau DP 0% dan memiliki target bangunan sebanyak 232.214 unit. Namun, kebijakan ini dipangkas tajam sehingga ditargetkan hanya membangun 10 ribu unit. Penyelenggaraan rumah pada awalnya diperuntukan kepada warga berpenghasilan strata pendapat 4-7 juta, kemudian diubah menjadi strata pendapatan 14 juta. Hal ini telah membuktikan bahwa ketidakseriusan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam memenuhi janji politik pada saat kampanye.
Kasus ketujuh berkaitan dengan belum adanya bentuk intervensi yang signifikan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait dengan permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan juga pulau-pulau kecil. Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil harus berhadapan dengan ancaman terhadap kelestarian ekosistem dan konflik agraria.
Alih-alih menetapkan kebijakan, draf Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) DKI Jakarta yang dibuat oleh Pemprov DKI justru memuat ketentuan yang memiliki potensi mengakselerasi kerusakan ekosistem dan perampasan ruang hidup dan penghidupan masyarakat.
Kasus kedelapan adalah penanganan pandemi yang masih setengah hati. Wilayah DKI Jakarta dianggap sebagai episentrum nasional penyebaran Covid-19. Untuk itu diperlukan penanganan yang tepat sasaran. Namun, capaian 3T Pemprov DKI justru masih rendah dan vaksinasi untuk kelompok prioritas dianggap lambat. Lebih parahnya lagi, ditemukan banyak penyelewengan booster vaksin untuk pihak yang bukan termasuk ke dalam prioritas.
Pemprov DKI Jakarta dianggap nekat dengan melakukan pelonggaran yang terlalu dini dengan pembukaan mal yang juga mengizinkan anak berusia di bawah 12 tahun hingga pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) yang dirasa tergesa-gesa tanpa syarat selesainya vaksinasi dan positivity rate Jakarta masih di atas 5%. Hal ini diperparah dengan buruknya pengawasan Pemprov DKI di sektor pengawasan fasilitas kesehatan, ketenagakerjaan dan pendidikan yang terbukti dengan banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti.
Kasus kesembilan adalah penggusuran paksa masih membayangi warga Jakarta. Peraturan Gubernur DKI Nomor 207 Tahun 2016 Tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak merupakan salah satu ketentuan yang digunakan oleh Pemprov DKI untuk melakukan penggusuran dengan dalih memberikan kepastian hukum pelaksanaan penertiban terhadap pemakaian/penguasaan tanah tanpa izin yang berhak.
Kasus terakhir terkait dengan reklamasi yang masih terus berlanjut. Ketidakkonsistenan mengenai penghentian reklamasi ini dimulai pada 2018, saat Anies menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta (“Pergub DKI 58/2018”). Adanya Pergub ini, mengindikasikan reklamasi akan tetap berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai “perusahaan mitra”.
Kasus lainnya muncul pada saat pencabutan izin 13 pulau reklamasi dilakukan secara tidak cermat. Pemprov DKI Jakarta dianggap tidak memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk mencabut izin pelaksanaan reklamasi bagi perusahaan-perusahaan. Ketidakcermatan Pemprov dalam pencabutan izin tentunya dapat mengancam masa depan penghentian reklamasi dan menjadikan pencabutan izin reklamasi sebagai gimmick belaka.
Dengan 10 “Rapor Merah” Anies Baswedan ini, LBH Jakarta merekomendasikan Gubernur DKI Jakarta untuk dapat membuat strategi dan rencana aksi terkait dengan pengendalian pencemaran udara yang dapat melindungi kesehatan manusia lingkungan dan ekosistem termasuk kesehatan populasi secara terfokus, tepat sasaran, dan melibatkan partisipasi publik, menghentikan swastanisasi air DKI Jakarta, Melakukan penanganan banjir Jakarta sesuai dengan penyebab banjir.
Kemudian, Pemprov DKI Jakarta tidak melakukan penggusuran paksa terhadap warga dan usaha rakyat kecil, mengesahkan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum yang sesuai dengan kebutuhan warga DKI Jakarta, menunda pengesahan RZWP3K sebelum adanya KLHS dan RSWP3K yang sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup, meningkatkan 3T di Provinsi DKI Jakarta, menunda pelaksanaan PTMT, menjamin pembebasan biaya perawatan bagi orang yang dirawat karena Covid-19 serta memastikan pelaksanaan vaksinasi secara adil dan sesuai skala prioritas.
Selanjutnya, memastikan hak atas tempat tinggal warga di DKI Jakarta, tidak melakukan penggusuran paksa, memulihkan hak-hak para korban penggusuran paksa serta mencabut Peraturan Gubernur Nomor 207 Tahun 2016 dan mencabut seluruh izin pelaksanaan reklamasi 17 pulau di DKI Jakarta.