Polri bersama Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menggelar rekonstruksi insiden Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022. Rekonstruksi tersebut digelar di lapangan Mapolda Jawa Timur, Rabu (19/10).
Tetapi, pelaksanaan rekonstruksi dinilai minim transparansi dan akuntabilitas. Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pos Malang Daniel Siagian menilai, rekonstruksi seharusnya dilakukan secara terbuka di Stadion Kanjuruhan.
Sebab, pengusutan tragedi Kanjuruhan ini termasuk dalam kepentingan publik, khususnya Aremania dan para korban dari peristiwa tersebut.
"Rekonstruksi kejadian seharusnya dilakukan secara transparan dan akuntabel, dan dilakukan secara terbuka di Stadion Kanjuruhan, bukan secara tertutup di Polda Jatim," kata Daniel dalam keterangannya, dikutip Kamis (20/10).
Daniel menilai, rekonstruksi yang digelar secara tertutup akan menimbulkan keraguan terkait transparansi hasil rekonstruksi.
Selain itu, keterlibatan publik untuk memantau jalannya rekonstruksi harus menjadi prioritas utama dalam pengusutan tragedi Kanjuruhan.
"Terlebih lagi, minimnya keterlibatan korban dalam rekonstruksi tersebut. Seharusnya, keterlibatan publik dalam pemantauan rekonstruksi ini harus dilakukan terkhusus pihak saksi korban," ujar Daniel.
Ditambahkan Daniel, keterbukaan proses dan keterlibatan publik dalam pengusutan peristiwa ini penting untuk menjamin keadilan bagi korban, serta agar fakta yang direkonstruksi tidak dikaburkan.
Oleh karenanya, pihaknya meminta agar Komnas HAM, TGIPF, dan Polri menyelidiki dan mendalami dugaan keterlibatan aktor lain selain aktor lapangan yang dijadikan tersangka dalam tragedi Kanjuruhan, dalam kerangka pertanggungjawaban komando.
"Proses penuntasan tragedi ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, untuk memperjelas dugaan pelanggaran HAM dalam tragedi Kanjuruhan," pungkas Daniel.