close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seorang petugas mencabut pohon ganja yang siap panen di kawasan lembah Montasik, Aceh Besar, Aceh, Kamis (14/3). /Antara Foto.
icon caption
Seorang petugas mencabut pohon ganja yang siap panen di kawasan lembah Montasik, Aceh Besar, Aceh, Kamis (14/3). /Antara Foto.
Nasional
Selasa, 26 Maret 2019 12:22

Legalisasi ganja di Indonesia terbentur UU Narkotika

Bambang Eka memaparkan, sesungguhnya ganja punya sejumlah manfaat dalam tubuh, seperti mencegah serangan epilepsi.
swipe

Beberapa negara di dunia sudah melegalkan ganja untuk keperluan medis dan rekreasi. Thailand menjadi negara satu-satunya di Asia Tenggara yang sudah melegalkan ganja untuk medis pada akhir 2018.

Negara-negara yang melegalkan ganja punya syarat yang sudah ditetapkan dalam kebijakan masing-masing. Misalnya, penggunanya boleh menebus ganja sesuai rekomendasi dokter dan tak boleh dipakai saat berkendara.

“Saya dulu pernah ke Amsterdam, Belanda, dan saya mengamati pemakai ganja. Mereka beli di sana dan hanya boleh memakai ganja di tempat khusus yang sudah disediakan, tidak diperbolehkan dibawa pulang,” ujar dokter ahli adiksi Yayasan Garuda Gandrung Satria (Gagas) Bambang Eka saat berbincang dengan reporter Alinea.id di kantornya, Tangerang Selatan, Jumat (22/3).

Bambang mengatakan, legalisasi ganja di Belanda bisa memberikan tiga dampak, yakni menguntungkan dari segi medis, mengurangi peredaran obat terlarang sehingga devisa meningkat, dan pendewasaan bagi para pemakai.

Menurut Bambang, ganja menjadi ilegal ada kaitannya dengan Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18. Padahal, sebelumnya, ganja dimanfaatkan untuk menghilangkan rasa mual pada perempuan hamil.

“Dengan adanya Revolusi Industri tersebut, kemudian diproduksi obat untuk ibu hamil. Makanya mereka yang mempunyai kepentingan agar produk atau dagangannya laku, mereka menyebutkan ganja itu ilegal,” ujar Bambang.

Menurut Bambang, negara-negara yang sudah melegalkan ganja telah melakukan riset hukum dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), yang menyebut daun ganja punya dua komponen, yakni tetrahidrokanabinol (THC) dan kanabidiol (CBD).

Senyawa aktif tetrahidrokanabinol memiliki manfaat untuk rekreasional, yang membuat penggunanya merasakan senang. Sedangkan kanabidiol merupakan senyawa yang sifatnya non-psikoaktif, yang mengandung sifat terapi untuk kesehatan. Bila kedua komponen tersebut terpisah, maka tak akan efektif mengobati penyakit kronis.

Untuk di Indonesia, menurut Bambang menyebut, ganja untuk medis masih ilegal, karena terbentur Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111, termasuk narkotika golongan I.

Dokter ahli adiksi Yayasan Garuda Gandrung Satria (Gagas) Bambang Eka. Alinea.id/Annisa Rahmawati

Bambang memaparkan, sesungguhnya ganja punya sejumlah manfaat dalam tubuh, seperti mencegah serangan epilepsi, meringankan penyakit glaukoma, meringankan penyakit autoimun, membunuh sel kanker, mengatasi penyakit alzheimer, meredam efek kemoterapi, meringankan efek samping hepatitis C, dan menghambat sklerosis.

“Dulu pernah ada perempuan di Indonesia yang mengidap kanker, di mana suaminya berinisiatif menyembuhkan istrinya dengan menanam ganja. Lalu ganja tersebut diekstrak untuk dikonsumsi sang istri, hasilnya mulai membaik. Selang beberapa bulan sang suami ditangkap, setelah itu istrinya meninggal,” kata Bambang.

Kasus yang disebutkan Bambang adalah kasus yang menimpa Fidelis Arie Sudewarto di Kalimantan Barat. Ia ditangkap pada Februari 2017, karena memiliki 39 batang ganja untuk mengobati istrinya. Ia divonis 8 bulan penjara.

Bambang menyayangkan, usai kasus ini, pemerintah tak melakukan riset secara ilmiah soal apakah istri Fidelis benar-benar bisa bertahan hidup dari kanker, dengan mengonsumsi ganja.

“Saat ini, Indonesia belum ada riset sama sekali dan pernyataan untuk terapi medis, baik dari Menteri Kesehatan maupun BNN (Badan Narkotika Nasional),” ucap Bambang.

Ia menyebutkan, bila di Indonesia ganja dilegalkan untuk medis, maka harus memiliki basis data golongan pengguna ganja sesuai klasifikasi atau sarat tertentu, seperti jumlah pengguna ganja, usia, dan kebutuhan.

Lebih lanjut, Bambang sudah mengajak anggota Lingkar Ganja Nusantara (LGN) untuk mengumpulkan basis data, dan diolah menggunakan metode kualitatif maupun kuantitatif, dengan melakukan riset di Departemen Kesehatan dan BNN. Tujuannya, untuk mengajukan permasalahan yang terjadi di lapangan kepada pemerintah, agar merevisi Undang-Undang Narkotika.

“Pada dasarnya apa yang sudah diberikan Allah pasti ada manfaatnya, dalam hal ini tumbuhan ganja,” ujarnya.

img
Annisa Rahmawati
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan