close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota DPR dari Fraksi PKB Abdul Kadir Karding. Alinea.id/dokumentasi
icon caption
Anggota DPR dari Fraksi PKB Abdul Kadir Karding. Alinea.id/dokumentasi
Nasional
Rabu, 29 Juli 2020 12:08

Legislator PKB nilai desakan evaluasi BIN tidak proporsional

Kewenangan penegakan hukum termasuk penangkapan dimiliki penegak hukum, dalam hal ini polisi interpol dan juga kejaksaan ataupun KPK.
swipe

Anggota DPR dari Fraksi PKB Abdul Kadir Karding menilai, desakan ICW agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) terkait kasus Djoko Tjandra tidak proporsional.

Pasalnya, kewenangan penegakan hukum termasuk penangkapan dimiliki penegak hukum, dalam hal ini polisi interpol dan juga kejaksaan ataupun KPK. Karding menilai ICW salah sasaran jika meminta Jokowi untuk mengevaluasi BIN.

"Terlalu jauh kalau kita tiba-tiba mengalamatkan kesalahan itu kepada BIN. Sesungguhnya kalau melihat cerita dan kasusnya, banyak pihak oknum yang sudah diproses secara hukum," kata Karding kepada media, Rabu (29/7).

Sebagai contoh, dari kepolisian Brigjen Prasetyo telah ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian juga sedang ada penyelidikan terhadap imigrasi, kejaksaan atau pun juga aparat kelurahan yang mengurusi soal semua proses administrasi Djoko Tjandra.

Artinya ada persekongkolan oknum. Bukan oleh satu institusi seperti BIN. Lagi pula, kata anggota Komisi I DPR itu, polisi sudah melakukan tindakan hukum atau langkah-langkah hukum terhadap oknum tersebut.

"Dari sisi kewenangan, sebenarnya Badan Intelijen Negara itu lebih banyak kepada penyediaan informasi kepada Presiden. Apalagi dengan Keppres baru yang terkait dengan hal-hal besar, seperti keamanan nasional," terang Karding.

Oleh sebab itu, sekali lagi Karding menilai ICW terlalu jauh menyudutkan BIN dalam kasus ini. Jika ada pihak yang memang ingin disalahkan, harusnya dilihat pada proses hukum yang ada. 

"Sudah kita tunggu saja. Kita desak atau kita pantau proses hukum berjalan seperti apa," sambungnya.

Sebelumnya, ICW mendesak Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Kepala BIN Budi Gunawan (BG), lantaran lolosnya buronan kasus korupsi Bank Bali Djoko Tjandra. ICW menilai BIN di bawah pimpinan BG telah gagal melacak keberadaan Djoko.

"Kasus Djoko Tjandra menunjukkan BIN tidak memiliki kemampuan dalam melacak keberadaan koruptor kelas kakap tersebut. Mulai dari masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal," kata Peneliti ICW, Wana Alamsyah.

Berdasarkan catatan ICW sejak 1996 hingga 2020, terdapat 40 koruptor yang masih buron. Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor di antaranya, New Guinea, Cina, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia.

Sementara itu, nilai kerugian akibat tindakan korupsi para buron tersebut pun terbilang fantastis, yakni, sebesar Rp55,8 triliun dan US$105,5 juta. Lebih spesifik lagi, institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor antara lain, kejaksaan (21 orang), kepolisian (13 orang), dan KPK (6 orang).

"Berpegang pada pengalaman sebelumnya, BIN sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada 2015 dan Samadikun Hartono di Cina pada 2016. Namun berbeda dengan kondisi saat ini, praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN," terang Wana.

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan