Lelah fisik dan mental tenaga kesehatan perangi Covid-19
Sudah nyaris tujuh bulan Futri Dewi bertugas menjadi perawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Meski begitu, ia masih tetap gamang dan ketar-ketir ketika mendapat giliran tugas mendampingi pasien.
“Apalagi saat tugas di bagian pasien yang memiliki penyakit penyerta,” ujarnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (14/9).
Sejak pandemi melanda Indonesia, Futri bertugas di tower enam Wisma Atlet. Setiap hari, kata Futri, tenaga medis yang bekerja di sini dibagi tiga sif—pagi, siang, dan malam—dengan durasi bertugas masing-masing delapan hingga sembilan jam, tergantung pergantian dinas.
Keluhan mereka
Pasien silih berganti datang ke rumah sakit darurat untuk Covid-19 itu. Pada Mei dan Juni 2020, ia mengaku pernah kewalahan mendampingi pasien. Ketika itu, terjadi lonjakan pasien.
“Saat itu banyak ABK (anak buah kapal) dan TKI (tenaga kerja Indonesia) yang pulang,” katanya.
Rasa lelah secara fisik dialami karena Futri dan tenaga kesehatan lainnya harus bekerja dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Alat pelindung diri tak boleh sedikit pun dilepas saat bertugas.
“Karena kami enggak bisa makan dan minum. Jadi, cairan tubuh itu terkuras. Padahal, pergerakan kami mobile,” tuturnya.
“Jadi, sehabis bersih-bersih baru bisa megang makanan dan minuman. Waktunya sangat panjang dan melelahkan.”
Seorang perawat di Rumah Sakit (RS) Harapan Bunda, Ciracas, Jakarta Timur, Rany Afrilia merasakan hal yang sama dengan Futri. Beban kerja merawat pasien Covid-19 dirasakan Rany semakin berat seiring bertambahnya angka penularan, yang tak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan.
"Enggak ada berhentinya kami nangani pasien. Sekarang ini pasien semakin banyak dan kami kewalahan," kata Rany saat dihubungi, Rabu (16/9).
Di rumah sakit tempat Rany bertugas dibagi tiga sif. Sif pagi dan sore selama tujuh jam dan sif malam 10 jam. Akan tetapi, jumlah tenaga kesehatan yang tak sebanding dengan gelombang pasien Covid-19 yang datang, berimbas pada jam kerja yang terganggu.
“Jadi, dalam seminggu itu kadang kita kerja tujuh hari. Dalam tujuh hari, kalau ada malamnya, itu cuma dapat jatah tidur di paginya,” ujarnya.
Rany juga tak mendapatkan tempat tinggal khusus. Ia masih pulang ke rumah orang tuanya selesai bekerja. Ia khawatir, orang tuanya tertular virus. "Apalagi orang tua saya itu punya penyakit penyerta, kalau terpapar bahaya," ujar dia.
Keletihan mental atau burnout pun dialami Futri dan Rany. Futri mengatakan, kerap dibayangi risiko terpapar virus dari pasien. Tekanan psikis ditambah karena ia kerap melihat kondisi pasien kritis. Ia pun merasa dikucilkan dari rekan-rekannya yang takut tertular virus.
"Padahal sebelum saya tugas di Wisma Atlet itu teman saya banyak. Tapi makin ke sini, temen saya menjauh. Kabar-kabaran juga enggak," ujarnya.
Ia pun mengatakan telah banyak rekannya yang mengundurkan diri lantaran tak tahan menghadapi tekanan fisik dan mental. Untuk mengatasi beban mental dan psikisnya, Futri kerap berkonsultasi dengan psikolog yang disediakan Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
“Kami dikasih beberapa arahan, disuruh cerita apa masalahnya. Setelah dikasih arahan kita diberi terapi untuk menenangkan diri," ucap Futri.
Sedangkan Rany sudah merasa sangat tertekan secara psikologis sejak menangani pasien Covid-19, pada April 2020. Apalagi dengan kondisi pasien harian yang tak kunjung menunjukkan penurunan.
"Semenjak pasien Covid-19 melonjak itu benar-benar stres banget. Kita pakai APD juga sudah pengap, capek, dehidrasi, nahan haus,” kata Rany.
“Tenaga kita kurang karena banyak yang keluar. Saya sampai nangis karena benar-benar lelah.”
Duka Rany bertambah karena kerap mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari pasien Covid-19 yang tak kooperatif. Seringkali pasien tak bersedia ditempatkan di ruang isolasi karena merasa tak terpapar virus.
"Psikologis kita tertekan sekali," katanya.
Celakanya, menurut Rany, di rumah sakit tempat dia bekerja tak ada fasilitas pelayanan konsultasi psikologi, layaknya di Wisma Atlet. Jalan satu-satunya, Rany hanya bisa pasrah pada nasib dan saling menguatkan antartenaga kesehatan lainnya.
Berguguran dan rentan gangguan psikis
Tenaga kesehatan seperti Futri dan Rany rentan mengalami kelelahan fisik dan mental. Mereka pun berisiko tertular virus mematikan dari pasien.
Pada awal September 2020, Amnesty International melaporkan setidaknya 7.000 tenaga kesehatan di seluruh dunia wafat karena Covid-19. Jumlah itu naik dua kali lipat lebih dibandingkan laporan pada Juli 2020, yakni 3.000 tenaga medis yang meninggal dunia.
Meski Indonesia tak termasuk jajaran 10 besar negara yang tenaga medisnya gugur karena Covid-19, tetapi jumlahnya tak bisa dianggap sedikit. Amnesty International mencatat, ada 181 tenaga kesehatan di Indonesia, terdiri dari 112 dokter dan 69 perawat, meninggal dunia selama enam bulan pandemi.
Sementara itu, data Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, hingga 13 September 2020 sudah ada 115 dokter yang gugur karena Covid-19. Sebarannya mencapai 16 provinsi. Jawa Timur menjadi provinsi tertinggi kematian dokter, yakni 29 orang. Dari jumlah tersebut, rinciannya, 60 dokter umum, 53 dokter spesialis, dan dua dokter residen.
“Dengan asumsi satu dokter melayani 2.500 pasien, maka menggambarkan sebanyak hampir 300.000 rakyat Indonesia akan kehilangan pelayanan dari dokter,” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI Adib Khumaidi dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Selasa (15/9).
Menurut Adib, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara. Perbandingannya, 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia hanya punya empat dokter yang melayani 10.000 penduduk. Rasio dokter spesialis juga rendah, hanya 0,13% per 1.000 penduduk.
Adib pun menyarankan pemerintah segera mengambil langkah konkret dan tegas untuk melindungi dan menjamin keselamatan para petugas kesehatan.
"Perlu dibentuk Komite Nasional Perlindungan dan Keselamatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan. Ini dapat bertugas mengintegrasikan seluruh stakeholder kesehatan untuk fokus dalam upaya perlindungan, keselamatan, dan pengawasan bagi petugas kesehatan,” katanya.
Sedangkan kelompok relawan Lapor Covid-19 mencatat, hingga Senin (14/9), angka kematian tenaga kesehatan mencapai 201 orang. “Terdiri atas dokter, perawat, bidan, dan dokter gigi,” ujar seorang inisiator Lapor Covid-19 Ahmad Arif saat dihubungi, Senin (14/9).
Di samping itu, tenaga kesehatan rentan mengalami keletihan mental saat bertugas. Sebuah laporan yang dikerjakan tim dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja (MKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) bertajuk Penelitian Burnout di Kalangan Tenaga Kesehatan Indonesia di Masa Pandemi Covid-19 mengungkap, sebanyak 82% partisipan—yang terdiri dari 1.461 tenaga kesehatan di seluruh Indonesia—mengalami burnout tingkat sedang, 1% berat, dan 17% ringan.
Menurut Ketua Tim Peneliti Program Studi MKK FK UI Dewi S Soemarko, seperti dikutip dari Antara edisi 4 September 2020, faktor jenis pekerjaan dan bagaimana bekerja menangani Covid-19 berhubungan dengan gejala burnout.
Penanganan psikologis
Terkait hal itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Dwi Oktavia mengatakan, pelayanan psikologis untuk tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 sudah ada sejak April 2020.
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Nomor 78/SE/2020 tentang Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) bagi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Penunjang dalam Penanganan Covid-19.
Dalam pelaksanaannya, Dwi mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan psikiater, psikolog, dan motivator untuk melakukan pendampingan terhadap tenaga kesehatan, secara langsung maupun virtual.
“Diharapkan petugas tetap tangguh dalam menghadapi situasi pandemi saat ini. Tidak mengalami masalah kesehatan jiwa yang menyebabkan terjadinya gangguan jiwa berat,” ujar Dwi saat dihubungi, Senin (14/9).
“Poin dukungan psikososial adalah memastikan kebutuhan, menggali keluhan, memberi rasa nyaman, memotivasi untuk melindungi diri sendiri dan orang di sekitarnya.”
Namun, Dwi enggan menjawab ketika ditanya apakah semua rumah sakit rujukan Covid-19 punya fasilitas layanan psikologi. Ia hanya menegaskan, pihaknya rutin melakukan pendampingan psikologis untuk tenaga kesehatan.
"Semisal, pendampingan psikososial petugas penanganan Covid-19 seri 3 yang dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 2020 itu mengangkat tema ‘Kenali Apa itu Burnout? Apakah Anda Sedang Mengalaminya?’” kata Dwi.
Dihubungi terpisah, Ketua Satgas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanggulangan Covid-19 Annelia Sari Sani mengatakan, koordinasi berjalan melalui Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Setiap psikolog, kata dia, disiapkan untuk dapat melayani konseling bagi pasien dan tenaga kesehatan yang membutuhkan.
“Direktur-direktur rumah sakit seluruh Indonesia itu sudah terinformasikan bahwa ada layanan psikologis. Jadi, ini memang sebuah sistem yang sudah berjalan seperti ban,” kata Annelia saat dihubungi, Selasa (15/9).
Annelia mengungkapkan, selama enam bulan berjalannya pelayanan, pihaknya sudah menangani 9.428 tenaga kesehatan di seluruh Indonesia. “Umumnya konsultasi berlangsung daring, yaitu telekonseling atau telepsikologi,” kata dia.
Penanganan psikologis bagi petugas kesehatan dilakukan melalui sejumlah tahapan, seperti melakukan pengelompokkan jenis dan cara pendampingan yang sesuai untuk setiap orang. Meski begitu, ia mengatakan, masalah psikologis di masa pandemi relatif sama, yakni ketakutan berhadapan dengan Covid-19. Ia menyatakan, tak ada penyebab spesifik antara stres yang dialami tenaga kesehatan dan masyarakat secara umum.
“Tekanan yang dialami tenaga kesehatan sama seperti yang dialami pasien. Kecemasan orang dewasa pada umumnya, yaitu kecemasan dan kesepian,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, tingkat pelayanan psikologis juga bergantung pada kebutuhan masing-masing orang, sesuai gangguan yang dialami. Ia menampik asumsi bahwa petugas kesehatan mengalami tekanan mental berlebih selama menjalankan tugasnya.
“Petugas kesehatan itu sudah siap dan dilatih dalam pendidikannya. Jadi, berjaga sepanjang malam itu bukan masalah. Kita tak bisa menyederhanakan permasalahan seperti itu,” ucapnya.
Sementara itu psikolog Anna Surti Ariani menjelaskan, kesehatan mental setiap orang terkait juga dengan kesehatan fisik. Maka, ia menyarankan kepada tenaga kesehatan yang bertugas menangani pasien Covid-19 agar memperhatikan asupan makanan yang cukup. Selain itu, jam istirahat pun perlu diperhatikan.
“Jangan sampai mereka asal makan atau jam makan terlambat, kurang waktu untuk beristirahat. Atau karena memaksakan diri melayani pasien, misalnya, tidur hanya empat jam sehari,” kata Nina saat dihubungi, Rabu (16/9).
Bila tenaga kesehatan tak disiplin menjalankannya, maka yang terjadi adalah kelelahan secara fisik dan mental. Anna mengatakan, tenaga kesehatan juga perlu menyadari batasan waktu dan kondisi yang jelas untuk berisitirahat dan tetap menangani pasien.
“Kalau ada kondisi pasien gawat darurat, mungkin mereka bisa berusaha all out. Tetapi kalau saat itu semestinya jadwal jam istirahat, maka sebaiknya jangan memaksakan diri untuk meladeni pasien,” tuturnya.
“Istirahat adalah hak mereka. Kalau saat sedang lelah, tetapi memaksakan kerja dan hal ini terus-menerus terjadi, akan menimbulkan burnout.”
Di samping itu, Anna mengingatkan pentingnya setiap tenaga kesehatan memiliki ruang berbagi perasaan. Sebab, hal itu merupakan kebutuhan mendasar setiap orang ketika tertekan.
“Tenaga kesehatan dapat curhat kepada orang terdekat atau masuk ke kamar mandi untuk berteriak sebentar. Selain itu, bisa pula menumpahkan perasaan kesal atau yang tidak disukai dengan menulis,” ujarnya.