Riset Program Studi Magister Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada Agustus 2020, mengungkap bahwa 83% tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia mengalami-masuk pada keadaan burnout tingkat sedang sampai tingkat tinggi.
“Penelitian tersebut kami lakukan secara daring, dengan melibatkan sekitar 1.400 responden yang terdiri dari beragam tenaga kesehatan seperti dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, perawat, bidan, dan farmasi dari seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke," ungkap Ketua Program Studi Magister Kedokteran Kerja FKUI, dr. Dewi Soemarko dalam talkshow daring bertajuk "Pandemic Fatigue, Jangan Pernah Menyerah!”, Senin (11/1).
Yang agak menyedihkan, sambung dia, dokter umum menjadi kelompok yang paling banyak merasakan burnout apabila dibandingkan dengan para tenaga kesehatan yang lainnya.
Burnout diartikan Dewi sebagai suatu keadaan yang menyebabkan seseorang mengalami kelelahan secara mental dan fisik karena adanya stress yang berkepanjangan.
“Stres yang berkepanjangan itu macam-macam, bisa stres akibat masalah atau problem di tempat kerja atau lingkungan lain, sehingga akhirnya karena keadaan tersebut seseorang bisa mengalami burnout. Pada umumnya, burnout itu sudah sangat dikenal di kalangan pekerja, karena itu kami menyebut burnout biasanya di kalangan pekerja,” tutur Dewi.
Menurutnya, tenaga kesehatan mengalami burnout lantaran secara dominan mereka mengalami keletihan emosi dan kelelahan mental. Yang memprihatinkan, ujar Dewi, adalah salah satu gejala burnout itu ialah goyahnya rasa percaya diri. Kondisi ini dinilai sangat berbahaya mengingat tenaga kesehatan harus menjadi decision maker dan pengarah bagi pasien.
Selain burnout, gangguan kecemasan juga menjangkiti para tenaga kesehatan, terutama mereka yang bekerja di zona merah dan di zona kuning. Kecemasan karena kelelahan bekerja menyebabkan daya tahan tubuh menurun, dan rentan terpapar terus menghantui mereka. Ditambah lagi kecemasan siapa yang akan menggantikan profesinya bilamana mereka terpapar. Hal itu membuat tingkat gangguan kecemasan tenaga kesehatan kian membesar.
“Saya katakan bahwa tenaga kesehatan itu adalah aset. Aset yang harus dijaga sebaik mungkin, dan jangan sampai mereka terpapar atau sakit. Regenerasi tenaga kesehatan itu tidak bisa terjadi secara cepat, butuh waktu yang cukup lama untuk kita regenerasi. Kemudian saya juga ingatkan kepada para tenaga kesehatan untuk harus terus menjaga diri masing-masing, lantaran saat ini mereka dibayangi oleh jam kerja yang tinggi,” imbuhnya.
Burnout landa masyarakat dan pelajar
Sementara itu, Kepala Divisi Psikiatri Forensik atau Ketua Prodi Spesialis Kedokteran Jiwa FKUI–RSCM, Dr. Natalia Widiasih Raharjanti mengungkapkan, saat ini bukan hanya tenaga kesehatan saja yang mengalami keadaan burnout. Hampir seluruh elemen termasuk para pelajar pun mengalami keadaan burnout.
“Biasanya kan anak-anak itu seneng kalo di rumah, mereka bisa main atau lainnya. Nah, sekarang ini kan memang mereka ada di rumah, tapi harus tetep belajar dan sekolah dari rumah. Dan terkadang apa yang mereka pelajari secara tidak langsung tersebut (online), terkadang membuat mereka kelelahan mental, sehingga mereka mengalami burnout,” terangnya di Jakarta (11/1).
Selain itu, dipicu pengekangan orang tua yang terlalu khawatir anaknya terpapar Covid-19, sementara si anak dengan kacamata yang sangat muda belum mampu memahami keadaan, dan ingin sekali bermain bersama temannya di luar. Ini akan kembali menyebabkan keadaan burnout, baik pada anak maupun orang tua. Lantaran tidak ada win-win solution-nya.
“Belum lagi bila kondisi rumah yang kecil, dan mengharuskan kita atau anggota keluarga yang lain untuk bekerja dari rumah (work from home/WFH), kita harus berbagi spot, jaringan, atau lainnya. Itu sangat melelahkan dan bisa memantik pertengkaran,” tutur dia.