Lelah pantarlih dan segudang problem pemutakhiran data pemilih
Sore itu, setelah seharian keliling melakukan pendataan pemilih untuk Pemilu 2024, Kholik Abdurahman singgah dahulu di sebuah pos kamling dekat Stasiun Bojong Indah, Cengkareng, Jakarta Barat. Di tempat itu, ia merapikan lembaran kertas yang acakadut.
Sudah beberapa hari Kholik terjun ke lapangan melakukan pemutakhiran data untuk pemilu, usai mendaftar sebagai panitia pendaftaran pemilih (pantarlih) di Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat. Hari itu, ia masih punya tugas mendata beberapa warga lagi di perumahan Bojong Indah karena ada beberapa rumah yang tak jelas keberadaan penghuninya.
Menurut Kholik, agak sulit mendata warga yang tinggal di perumahan lantaran lebih tertutup. “Jadi perlu kita kasih tahu berulang-ulang, ini pendataan pemilih dari pemerintah,” kata Kholik kepada Alinea.id, Senin (27/2).
Suka-duka pantarlih
Pemuktakhiran data pemilih dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan pemilih dalam Pemilu 2024. Pendataan ini dilaksanakan pantarlih yang dibentuk panitia pemungutan suara (PPS) atau panitia pemungutan luar negeri (PPLN), mulai 12 Februari hingga 14 Maret 2023. Tugas pantarlih adalah melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) dengan cara mendatangi pemilih secara langsung.
Kesulitan lain yang ditemui Kholik adalah beberapa warga kerap berpindah tempat tinggal, sehingga sulit dikonfirmasi keberadaannya. “Dia sudah pindah dan tidak lapor RT pindah ke mana,” ujarnya.
Beberapa warga yang sudah berganti profesi, seperti menjadi anggota TNI atau Polri—yang tak diperkenankan memilih dalam pemilu—merupakan tantangan lain bagi Kholik.
“Kadang ada warga yang dia baru jadi polisi, tapi enggak masuk data pekerjaannya di RT. Awalnya kita masukin sebagai pemilih. Akhirnya, kita bolak-balik data ulang,” tuturnya.
Ia pun mengeluh honornya sebesar Rp1 juta sebagai pantarlih, yang menurutnya terbilang kecil. Padahal, ia mesti bolak-balik melakukan pendataan. Belum lagi aplikasi coklit (e-coklit) yang kerap bermasalah, sehingga terkadang menghambat kerjanya.
Problem e-coklit yang belum sepenuhnya siap untuk memperkuat verifikasi data manual juga diakui Abidin, pantarlih di Pulau Sabira, Kepulauan Seribu. Namun, ia berkata, tak sampai menghambatnya melakukan pendataan. Di Kepulauan Seribu, kata Abidin, pantarlih lain banyak pula yang mendapat masalah terkait e-coklit.
“Mungkin kendala SDM atau aplikasinya yang belum matang. Sampai-sampai, saya bantu teman-teman yang belum login,” ujar Abidin, Senin (27/2).
Abidin beruntung, tak banyak yang berbeda antara data pemilih yang terdapat di berkas atau e-coklit dengan di lapangan. Sebab, tak banyak warga Pulau Sabira yang pindah, dalam lima tahun terakhir.
Sedangkan Zahra—bukan nama sebenarnya—warga Kedoya Selatan, Jakarta Barat, yang menjadi pantarlih sejak 14 Februari 2023 mengakui dapat hambatan saat mendata warga yang tinggal di apartemen.
“Karena enggak bisa leluasa masuk ke sana. Harus izin dulu, segala macam,” ujarnya saat ditemui di Kedoya Selatan, Jakarta Barat, Rabu (1/3).
Perempuan berusia 23 tahun ini mendapat tugas melakukan pencocokan data 155 keluarga, yang terdiri dari 287 orang tinggal di permukiman dan 157 orang lainnya di apartemen. Ia harus melakuan pendataan di dua apartemen, yakni Metro Park dan Satu8 Residence. Namun, sudah seminggu tak bisa dilakukan kerjanya karena pengelola apartemen belum memberikan izin.
“Kalau di perkampungan, 14 hari selesai,” tuturnya.
Di samping itu, ada sekitar 30 keluarga yang pindah domisili dari Kedoya Utara, yang harus dilaporkan PPS di Kelurahan Kedoya Selatan secara paralel. Terlepas dari segala kendala yang dihadapi, ia mengatakan honor Rp1 juta tak sepadan dengan ongkos bensin dan tenaga yang dikeluarkan.
Sebagai informasi, berdasarkan data KPU Provinsi DKI Jakarta, per 1 Maret 2023 atau hari ke-18 pemutakhiran data pemilih, hasil coklit yang sudah dilakukan di DKI Jakarta sebesar 4.034.045 dari 8.300.305 data pemilih atau setara 48%. Tertinggi ada di Jakarta Pusat, dengan hasil coklit 475.737 dari 833.174 data pemilih atau 57%.
<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/12915972"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>
Sementara itu, koordinator Divisi Data dan Informasi KPU Betty Epsilon Idroos menuturkan, untuk mencegah pemilih yang luput dari pendataan pantarlih, pihaknya telah memberi akses terbuka kepada semua pemilih.
“Di mana pun berada, untuk mengecek apakah mereka sudah terdaftar atau belum, (bisa) melalui cekdptonline.kpu.go.id,” kata Betty, Rabu (1/3).
Jika belum terdaftar, maka masyarakat bisa melapor kepada RT/RW atau kelurahan. “Sehingga pantarlihnya dapat datang mendata ke rumah warga tersebut,” ujarnya.
Untuk keluarga pemilih yang sudah meninggal atau anggota TNI dan Polri yang sudah pensiun pun, kata Betty, bisa mengecek di situs web KPU. “Atau melaporkan kepada pantarlih saat melakukan coklit di lingkungan masing-masing,” ujarnya.
“Masyarakat juga dapat mengecek secara langsung pada papan pengumuman di kantor desa atau kelurahan pada saat DPS (daftar pemilih sementara) diumumkan.”
Mengenai aplikasi e-coklit yang dikeluhkan kerap error, Betty mengatakan, hal itu hanya terjadi di awal kegiatan pemutakhiran data. "Karena ini alat bantu dan baru dipakai pertama kali, mungkin perlu penyesuaian di awal dalam penggunaannya," ujar Betty.
Masalah-masalah pemutakhiran data
Anggota Komisi II DPR dari fraksi PAN Guspardi Gaus mengatakan, pemutakhiran data pemilih perlu kecermatan. Terutama untuk memastikan pemilih berusia muda, yang bakal berpartisipasi dalam pemilu pada 14 Februari 2024. Maka, butuh pembanding dengan data kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil).
“Data dukcapil itu pasti lengkap. Yang berbeda adalah data di mana para pemilih dahulu, ada yang sudah meninggal, pindah alamat,” ujarnya, Senin (27/2).
“Itu yang perlu disikapi, dibenahi, dan dilakukan kajian-kajian bagaimana meminimalisir orang yang berhak memilih sampai (harus) tidak memilih.”
Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019 banyak orang tak memilih bukan karena golput. Melainkan luput dari pendataan saat usianya belum tergolong sebagai pemilih atau pindah domisili.
Menurutnya, ada dua cara untuk mengantisipasi data pemilih yang luput. Pertama, inisiatif dari Ketua RT dan RW untuk mendata calon pemilih baru atau warga yang baru pindah domisili. Kedua, peran aktif warga untuk melaporkan diri.
Peran aktif warga dan perangkat lingkungan, ujar Guspardi, sangat diperlukan agar data pemilih di kemudian hari tak bermasalah. Data pemilih yang bermasalah bisa sangat sensitif dijadikan gugatan sengketa pemilu oleh pihak yang kurang puas terhadap hasil pemilihan.
Orang yang sudah meninggal, anggota TNI atau Polri, serta yang sudah pensiun dari TNI atau Polri, disarankan Guspari, jangan sampai luput dari pendataan. Sebab, bisa saja pemilih pada Pemilu 2019 sudah terdaftar sebagai anggota TNI atau Polri yang tak lagi berhak memilih.
“Hal begini riskan. Banyak juga penyalahgunaan yang dilakukan oknum-oknum terhadap orang yang telah meninggal,” ujarnya.
Bisa saja, katanya, orang sudah meninggal, tetapi belum memiliki akta kematian, sehingga dianggap masih hidup dan punya hak suara. “Itu juga bagian yang perlu diinventarisir. Perlu dilacak dan diketahui pantarlih untuk disampaikan kepada kelurahan atau pekerja kepanjangan tangan dari KPU,” ucapnya.
Senada dengan Guspardi, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Neni Nur Hayati pun berpendapat, pemutakhiran data pemilih yang dilakukan dengan coklit perlu dilakukan dengan cermat.
“Daftar pemilih ini jadi komponen yang paling penting,” ujar Neni, Selasa (28/2). “Apalagi daftar pemilih akan menentukan logistik. Misalnya, mencetak surat suara. Lalu, proses pemungutan dan penghitungan suara.”
Kecermatan pendataan itu perlu dilakukan pula di lokasi bencana, terisolir, masyarakat adat, serta pemilih yang tak aksesibel. Ia pun menyoroti e-coklit. “Menurut kami, e-coklit perlu dilakukan audit karena sering error dan sebagainya,” tutur dia.
Aplikasi yang sering error itu, kata dia, bukan tak mungkin berdampak pada data pemilih. Maka, ia mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk turut memantau pemutakhiran data yang dimasukkan ke e-coklit.
“Jika jaringan lamban dan error, itu mengakibatkan proses input data butuh waktu yang lama. Sementara tahapan terus berjalan, kita dibatasi sampai 14 Maret 2023,” kata Neni.
“Jika ada upload ulang dan sebagainya, itu bisa terjadi penumpukan data, yang bisa berpotensi memunculkan data ganda.”
Solusinya, jelas Neni, KPU mesti punya salinan data manual yang bisa digunakan untuk antisipasi jika terjadi error. Data manual pun dapat dijadikan pembanding untuk keabsahan data di tempat pemungutan suara (TPS).
“KPU saya kira harus memberikan akses informasi data pemilih secara utuh kepada pengawas pemilu. Ini dilakukan agar Bawaslu bisa melakukan pengawasan secara maksimal,” ujarnya.
Pemutakhiran data dengan memanfaatkan teknologi informasi, menurutnya, juga perlu mengantisipasi kebocoran data. Pasalnya, data pemilu terkait dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang rawan dicuri.
Neni pun mengkhawatirkan data calon pemilih baru. Pemilih milenial, ujarnya, adalah populasi terbesar dalam pemilu mendatang. Bila tak dipastikan usia dengan tanggal pencoblosan, menurutnya, sangat rawan luput.
“Mereka yang berusia 17 tahun pada tanggal 14 Februari 2024 itu harus dipastikan. Ini pemilih potensial yang harusnya terdaftar di data pemilih,” katanya.
“Tapi kadang-kadang, ada banyak potensi yang justru tidak memenuhi syarat itu yang masuk data pemilih.”
Berkaca dari Pemilu 2019, Neni melihat banyak sekali data pemilih fiktif yang disalahgunakan untuk menambah pemilih di TPS. Akhirnya, berujung pada sengketa pemilu.
“TPS itu ada yang lebih dari 300 orang. Padahal, penyusunan daftar pemilih sesuai regulasi UU itu kan membagi pemilih untuk setiap TPS paling banyak 300 orang,” ujarnya.
Jika data pemilih tak divalidasi dengan baik, ia khawatir berdampak pada pemilu serentak yang penuh sengketa. “Terjadi gugatan yang lebih banyak dibandingkan Pemilu 2019, sangat mungkin,” tuturnya.
“Apalagi dengan kompleksitas pemilih 2024. Saat yang bersamaan, menyelenggarakan Pemilu 2024 itu pasti akan sangat berbenturan secara tahapan.”
Problem lainnya, ia menemukan fakta di lapangan, terjadi praktik perjokian di antara pantarlih dalam melakukan pemutakhiran data. “Yang data siapa, yang coklit lain,” kata Neni.
Lebih lanjut, Neni mengingatkan, kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu bisa meningkat jika dapat mengantisipasi kemungkinan sengketa yang berpotensi timbul pada 2024. Caranya, menyempurnakan data pemilih melalui ragam metode, supaya tak ada pemilih fiktif dan dapat memenuhi hak pemilih.
"Tinggi atau rendahnya sebuah partisipasi masyarakat ke TPS akan ditentukan dari daftar pemilih yang ada di TPS," kata Neni.