Lembaga pendidikan kunci hadapi industri 4.0
Pendidikan merupakan salah satu pintu masuk mempersiapkan revolusi industri 4.0. Melalui pendidikan, masyarakat bisa teredukasi dengan baik. Terutama berbagai skil yang diperlukan agar bisa kompetitif menghadapi persaingan yang semakin keras.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan tantangan revolusi industri 4.0 harus direspon secara cepat dan tepat oleh seluruh pemangku kepentingan. Agar mampu meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tengah persaingan global.
Hal ini diungkapkan Menteri Nasir dalam pembukaan acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) 2018 yang digelar di Kampus Universitas Sumatera Utara (USU), Medan(17/1).
Ada beberapa elemen penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa di era Revolusi Industri 4.0. Mulai dari persiapan sistem pembelajaran hingga sumber daya dosen.
Persiapan sistem pembelajaran yang lebih inovatif di perguruan tinggi, bisa dilakukan dari penyesuaian kurikulum pembelajaran, dan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam hal data Information Technology (IT), Operational Technology (OT), Internet of Things (IoT), dan Big Data Analitic.
Sekaligus mengintegrasikan objek fisik, digital dan manusia untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang kompetitif dan terampil terutama dalam aspek data literacy, technological literacy and human literacy.
Oleh karena itu, diperlukan rekonstruksi kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0. Dalam mengembangkan transdisiplin ilmu dan program studi yang dibutuhkan.
"Persiapan sumber daya manusia khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang responsive, adaptif dan handal untuk menghadapi revolusi industri 4.0. Selain itu, peremajaan sarana prasarana dan pembangunan infrastruktur pendidikan, riset, dan inovasi juga perlu dilakukan untuk menopang kualitas pendidikan, riset, dan inovasi," jelas dia.
Peran lembaga pendidikan maupun staf pengajar yang mumpuni diperlukan agar bisa menghasilkan calon tenaga kerja trampil dan sesuai kebutuhan pasar. Itulah mengapa Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) merasa meningkatkan SDM dosen bisa menjadi awal yang bagus dalam mensukseskan rencana pemerintah menghadapi industri 4.0
Sekretaris Jenderal ADI, Amirsyah Tambunan, mengatakan, pengembangan SDM dosen dalam negeri merupakan hal mendesak yang harus dilakukan. Bisa dilakukan pemerintah ataupun perguruan tinggi. "Dosen merupakan ujung tombak pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Oleh karena itu, harus berkualitas," kata dia saat dihubungi, Alinea.id, Kamis (19/4).
Era industri 4.0 merupakan sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, semuanya harus dipersiapkan dengan baik. Mulai dari kebijakan strategis pemerintah mempersiapkan SDM, kesiapan perguruan tinggi menghasilkan sumber daya manusia berkualitas. Hingga dosen yang memiliki skil dan mampu mentransferkan kemampuannya kepada peserta didik. Semua harus berjalan-seiring agar hasil yang diharapkan maksimal.
Jika pemerintah serius mengembangkan kemampuan dosen dalam negeri. Tidak butuh waktu lama bagi Indonesia untuk mensejajarkan dunia pendidikan Indonesia dengan luar negeri. Hal itu bisa menjadi kunci menjadikan Indonesia sebagai kiblat pendidikan berkualitas dunia.
Memang tidak mudah untuk merealisasikan hal itu. Tetapi pemerintah mengaku telah memiliki jurus mempersiapkan SDM dalam rangka menghadapi industri 4.0. Salah satunya adalah dengan memperluas program pendidikan vokasi.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhammad Hanif Dhakiri, mengatakan, terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu kualitas, kuantitas, serta persebaran yang harus merata di berbagai daerah.
Karena itu, peran pemerintah daerah menjadi penting untuk mendukung pelatihan vokasi ini. Dia mencontohkan negara China yang sudah terlebih dahulu melakukannya.
Namun yang harus digarisbawahi, pendidikan vokasi di Indonesia hanya sekitar 16%. Bila dibandingkan, jumlah penduduk Indonesia hanya sebanyak satu banding enam dari jumlah penduduk di China. Namun di China hampir 56% perguruan tingginya merupakan pendidikan vokasi. Sedangkan di Indonesia dengan jumlah perguruan tinggi yang lebih banyak dibanding China. Tidak mengherankan jika China memiliki lebih banyak tenaga kerja yang produktif bila dibandingkan dengan Indonesia.
Pada era industri 4.0, keahlian menjadi salah satu syarat untuk menjadi produktif dan memenangkan persaingan. Tidak heran jika para era ini, pekerjaan mekanis atau yang membutuhkan ketrampilan rendah akan digantikan mesin. Pendidikan vokasi diharapkan mampu menghasilkan calon tenaga kerja yang memiliki keahlian sesuai kebutuhan industri. Tentu saja bukan hanya di level pemula, tetapi juga menengah atau tinggi.
Peran pendidikan vokasi akan sangat penting karena bisa mencetak pekerja yang sudah memiliki keahlian sesuai kebutuhan industri. Harapannya, tingkat ketrampilan pekerja tersebut sudah ada di level menengah atau tinggi ketika masuk ke industri. "Kita lihat aturan hukumnya seperti apa. Untuk memastikan pemetaan dari demand side. Misalnya berapa jurnalis yang dibutuhkan," terang Hanif kepada wartawan, Kamis (19/4) di Jakarta.
Di samping itu, Hanif menyarankan adanya sertifikasi keahlian di bidang tertentu. Menurutnya, hal ini akan membawa manfaat bagi tenaga kerja. Dengan adanya sertifikat keahlian ini, selain meningkatkan kompetensi, nantinya tenaga kerja diharapkan bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Taraf hidupnya pun akan jauh lebih baik.