Lentera Anak dorong daerah penuhi indikator 17 KLA
Lentera Anak mengapresiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) karena konsisten memberikan penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sejak 2011 untuk mendukung pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak.
"Kami mengapresiasi Penghargaan KLA sebagai wujud komitmen Kemen PPPA untuk mendorong sistem pembangunan berbasis hak anak yang terintegrasi, terencana, dan berkelanjutan dalam bentuk kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin hak anak terpenuhi dan terlindungi," kata Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, dalam keterangannya, Selasa (25/7).
Menurut Lisda, Penghargaan KLA akan mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk meningkatkan kualitas implementasi pemenuhan hak anak dan perlindungan anak dari keseluruhan klaster. "Butuh komitmen lintas sektor untuk memenuhi standar layak anak secara penuh mengingat isu-isu yang melingkupi anak sangat kompleks ditambah lagi banyaknya persoalan di daerah, mulai dari masalah sosial, fisik, dan psikis, yang berpotensi menghambat pemenuhan hak anak."
Penghargaan KLA diberikan kepada daerah setelah melalui proses evaluasi untuk mengukur capaian kinerja pelaksanaan 24 indikator yang dikelompokkan berdasarkan 5 klaster hak anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Kelima klaster tersebut adalah hak sipil dan kebebasan; lingkungan dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; serta perlindungan khusus.
Dari hasil evaluasi tim penilai, yang merupakan gabungan tim Kementerian PPPA, kementerian/lembaga lainnya, dan tim independen, akan ditetapkan peringkat tiap-tiap daerah, mulai dari peringkat pratama, madya, nindya, utama, dan paripurna. Penghargaan KLA 2023 diberikan kepada 360 daerah, dengan perincian 19 kabupaten/kota masuk kategori utama dengan nilai 801-900, 76 nindya, 130 madya, dan 135 pratama.
Kabupaten/kota yang meraih penghargaan KLA Utama meningkat tiap tahunnya. Pada 2023, ada tambahan 11 daerah yang naik peringkat, yakni Bantul, Kota Balikpapan, Kota Sawahlunto, Tulungagung, Kota Semarang, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Madiun, dan Sragen.
Belum penuhi indikator
Berdasarkan hasil analisis Lentera Anak terhadap 19 kabupaten/kota peraih KLA Utama, ungkap Lisda, belum semuanya memenuhi indikator 17 KLA klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan. Indikator 17 KLA itu, salah satunya, ketersediaan kawasan tanpa rokok (KTR) dan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Ia mengungkapkan, dari sisi ketersedian Peraturan Daerah (Perda) KTR, hanya 15 kabupaten/kota yang memilikinya. Kemudian, Sleman dalam bentuk peraturan bupati (perbup), sedangkan Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara belum sama sekali memiliki aturan KTR.
Pada aspek ketersediaan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok, hanya 12 daerah yang memiliki aturan. Ada yang berupa Perda Penyelenggaraan Reklame (Surakarta, Padang, Kota Madiun); Perda KLA (Padang, Sawahlunto, Bantul); SE Wali Kota, Bupati, atau Sekda (Balikpapan, Denpasar, Siak); Pergub Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok (Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara); dan pasal pelarangan iklan dan promosi rokok dalam Perda KTR (Padang Panjang).
Menurut Lisda, kondisi ini menjadi ironi karena salah satu upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak adalah perlindungan dari zat adiktif rokok dan paparan pemasaran industri rokok. Tanpa adanya aturan pelarangan iklan rokok di daerah, baginya, iklan, promosi, dan sponsor rokok akan masif menyasar anak bahkan bertebaran di dekat sekolah dan tempat anak beraktivitas.
"Sudah banyak studi menyebutkan adanya relasi dari paparan iklan rokok yang terus-menerus terhadap keinginan untuk merokok. Iklan, promosi, dan sponsor rokok dengan metode metode subliminal advertising memengaruhi alam bawah sadar anak sehingga membuat rokok terlihat normal," ucapnya.
"Studi Surgeon General-WHO menjelaskan, iklan rokok telah menciptakan kesan bahwa merokok adalah baik dan biasa serta mendorong anak mencoba merokok. Survei cepat di 10 kota oleh Komnas Perlindungan Anak (2012) menunjukkan, 99,6% remaja terpapar iklan rokok luar ruang, meningkatkan persepsi positif tentang rokok, dan mendorong keinginan merokok. Hasil survei Lentera Anak (2021) menunjukkan, lebih dari separuh responden (60,6%) terpapar iklan rokok elektronik, sebanyak 78,3% mengaku penasaran, dan ada 40% dari mereka ingin beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik," imbuhnya.
Lisda juga menyayangkan aksi instan beberapa daerah guna menaikkan peringkat KLA dengan aktif mencopot iklan rokok saat penilaian berlangsung. Iklan-iklan rokok tersebut kembali marak di dalam dan di luar ruang setelah berakhirnya proses penilaian. Ini berdasarkan hasil observasi Lentera Anak bersama jaringannya di sejumlah kabupaten/kota.
Lentara Anak pun mendorong pemda berkomitmen kuat untuk menjauhkan anak dari paparan iklan rokok sehingga prevalensi perokok anak meningkat. Sebab, merujuk data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Bahkan, Bappenas memproyeksikan jumlah perokok anak akan menjadi 15,9% atau sekitar 15,8 juta anak pada 2030 jika tanpa komitmen dan regulasi yang kuat.
"Tanpa pembatasan pengaturan iklan, promosi, dan sponsor rokok, anak-anak yang secara psikologis masih sedang berkembang akan mudah dipengaruhi masifnya strategi pemasaran rokok melalui berbagai sarana media. Karena itu, Lentera Anak mendorong agar lebih banyak lagi pimpinan daerah berkomitmen melindungi anak dari bahaya produk zat adiktif tembakau. Salah satunya dengan membuat regulasi yang kuat pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok untuk memenuhi indikator 17 KLA," tuturnya.