close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Polisi mengamankan demonstran yang menolak revisi UU KPK. Antara Foto
icon caption
Polisi mengamankan demonstran yang menolak revisi UU KPK. Antara Foto
Nasional
Senin, 28 Oktober 2019 16:21

Lokataru: Polisi tangkap pedemo bak penjahat kelas berat

Komnas HAM didesak melakukan penyelidikan atas tindak kekerasan yang dilakukan aparat selama mengamankan aksi demo.
swipe

Lembaga advokasi hukum dan kemanusiaan Lokataru Foundation mengungkapkan cara polisi menangkap massa pedemo dari kalangan mahasiswa dan pelajar pada 24 dan 26 September 2019. Para pedemo ditangkap polisi bak penjahat kelas berat. 

Deputi Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Mufti Makarim, mengatakan dari hasil temuan lembaganya ada sekitar 400 mahasiswa dan pelajar yang ditangkap polisi saat berunjuk rasa pada dua hari tersebut. Menurutnya, mereka ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan banyak korban yang tidak paham mengapa ditangkap.

“Banyak dari mereka yang ditangkap pascaaksi unjuk rasa saat kepolisian melakukan sweeping di sekitar area demo,” kata Mufti dalam jumpa pers di Jakarta pada Senin (28/10).

Mufti menjelaskan, proses penangkapan ratusan mahasiswa dan pelajar itu dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan dan prosedur penangkapan. Mufti menilai pola penangkapan tersebut dengan istilah arrest first, question later alias tangkap dulu, bertanya kemudian.

“Artinya, penangkapan dilakukan tanpa bukti kuat. Para mahasiswa dan pelajar yang ditangkap langsung dikenakan beberapa pasal, seperti pasal penghasutan untuk melakukan tindakan kekerasan, perusakan dan tindak kekerasan terhadap orang atau barang, hingga pasal menghalangi, melawan, dan memaksa aparat penegak hukum melakukan tindakan pembubaran aksi demonstrasi,” ucap Mufti.

Nahasnya, kata dia, selama penahanan, para korban baik mahasiswa maupun pelajar, diisolasi. Mereka tidak diperbolehkan menghubungi keluarganya. Mereka juga tidak memperoleh akses terhadap bantuan hukum.

“Mahasiswa dan pelajar ditangkap dengan alasan yang tidak jelas, mereka juga tidak boleh menghubungi keluarganya, lalu akses bantuan hukum untuk mereka juga ditutup,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Mufti menuturkan, pihaknya juga menyesalkan respons pemerintah yang terkesan cuek dalam kasus ini. Dari catatan Lokataru, hanya ada dua daerah yang melakukan penyelidikan terhadap tindak kekerasan aparat selama aksi demonstrasi. Kedua daerah itu yakni Ternate dan Kendari.

Sementara di Jakarta, Bandung, dan Makassar yang sampai menelan korban jiwa dan luka-luka justru tidak ada sama sekali upaya penyelidikan. Bahkan klarifikasi terhadap tindakan yang diambil selama pembubaran aksi demonstrasi.

“Daerah yang baru melakukan penyelidikan itu baru Ternate dan Kendari. Daerah lainnya seperti Jakarta, Bandung, Makassar yang ada korban meninggal justru tidak ada (penyelidikan)," ujar mufti. 

Atas kejadian tersebut, Lokataru Foundation menyatakan beberapa tuntutan di antaranya meminta Polri segera membuka data secara lengkap terkait penangkapan dan penahanan selama periode unjuk rasa sejak 23 sampai 30 September 2019. Lalu menyediakan akses bantuan hukum bagi mereka yang masih ditahan hingga hari ini.

Selain itu, Lokataru juga mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melakukan penyelidikan atas tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian lima korban jiwa dalam demonstrasi tersebut. Juga penahanan yang dilakukan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian.

“Serta mendesak aparat penegak hukum untuk mematuhi mandat konstitusi, di mana mereka harus mengedepankan azas praduga tak bersalah dan berorientasi pada hak asasi manusia,” kata Mufti.

img
Rizki Febianto
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan