Perlakukan represif aparat kepolisian yang menangkap 60-an warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah terbukti melanggar hak asasi manusia (HAM). Warga-warga tersebut menolak keras proyek pembukaan tambang andesit yang dibarengi dengan pembangunan Bendungan Bener di Wadas.
Pernyataan ini dikeluarkan oleh Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur dalam diskusi publik Bekerjanya Hukum Represif: Belajar dari Kasus Wadas yang digelar secara daring di saluran Youtube LP3ES, Sabtu (12/2).
Isnur menegaskan kekerasan yang menyasar warga Wadas pada 8-9 Februari 2021 dilakukan secara sistematis. Ada beberapa bukti yang bisa menegaskan kalau kekerasan tersebut adalah kesengajaan. Misalnya sinyal internet yang dilemahkan sehingga warga tidak leluasa merekam kejadian, listrik yang sengaja dipadamkan hanya di desa tersebut, patroli aparat yang semakin masif di Februari, upaya pencopotan poster, dan sulitnya mengakses lokasi perkampungan baik untuk warga lokal maupun tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
“Setiap orang yang mau masuk, bahkan untuk tujuan mengangkut logistik harus menunjukkan swab, sehingga pandemi justru dijadikan alasan sebagai pelarangan masuk kampung,” ujar Isnur. Saat terjadi penangkapan pun banyak warga yang ditangkap karena membawa pisau sebagai peranti kerja sehari-hari untuk membuat besek, namun justru dituduh tengah membawa senjata tajam.
Isnur mengatakan penolakan yang sama sebelumnya juga terjadi pada April 2021 saat proyek masih dalam tahap perencanaan. Saat itu, aparat bertindak represif namun warga lebih leluasa melakukan perekaman. Bedanya pekan lalu ratusan aparat datang bersama orang-orang yang tidak berseragam sehingga konflik antara warga pro dan kontra pun bisa disangsikan. Pasalnya banyak orang datang bersama anggota Polri yang mendukung tindakan represif. Bahkan LBH menemukan bukti adanya berita bohong yang disebarkan oleh oknum kepolisian.
Dari kejadian ini Isnur mengajak untuk menilik kembali penyebab warga menolak keras penambangan andesit di desa mereka. Jawabannya, kata dia, karena keuntungan warga dari sektor pertanian sudah mencapai miliaran namun tidak dihitung sebagai sumber kehidupan oleh pemerintah. Pembukaan tambang justru akan mematikan sumber penghidupan warga setempat seperti yang pernah terjadi di tempat-tempat lain.
Lagipula izin lingkungan yang terbit hanya untuk pembangunan waduk, bukan pembukaan tambang. Padahal, ujarnya, waduk dan tambang adalah dua hal berbeda sehingga dibutuhkan dua izin berbeda.
Pernyataan mengenai hukum represif ini diperkuat oleh Praktisi Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Herlambang P. Wiratraman yang menyebutkan bahwa hukum represif selalu berada di tengah rezim yang represif, yakni rezim yang menempatkan seluruh tindakannya untuk merawat kekuasaan. Tertib sosial dan hukum di masyarakat dikendalikan dengan cara-cara kekerasan, paksaan, dan intimidasi.
Hukum represif diperuntukkan hanya guna melanggengkan kelas kekuasaan. Kekerasan atas nama penegakan hukum terlebih dilakukan oleh aparat kepolisian jelas memperlihatkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam catatan Komnas HAM, konflik agraria menjadi kasus yang dominan diadukan karena banyak menimpa petani dan masyarakat adat. Dari kronologi yang dijelaskan, Herlambang bahkan menyimpulkan tindakan yang dilakukan oleh aparat sudah mengarah pada level yang lebih serius daripada sekadar pelanggaran pidana yakni kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU No. 26 tahun 2000. Aparat terbukti menempatkan unsur sistematis, terencana, dan kekerasan.
Diskusi tersebut juga dihadiri oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Milda Istiqomah dan Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lilis Mulyani.