Alih-alih mendorong kebebasan berekspresi, polisi siber dan polisi virtual justru dinilai menciptakan persepsi ancaman, bahkan bepeluang memperburuk Demokrasi. Demikian disampaikan Direktur Center for Media and Democracy dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto.
Kehadiran polisi siber dan polisi virtual, kata Wijayanto, semakin menguatkan temuan studi terbaru kebangkitan Polri di era reformasi. Tesis Jacqueline Baker berjudul The Rise of Polri; Democratisation and the Political Economy of Security in Indonesia pada 2012 mengungkap peran Polri yang semakin dominan dalam politik sipil.
“Restrukturisasi politik-ekonomi dan keamanan di Indonesia setelah reformasi itu memfasilitasi kebangkitan Polri sebagai aktor yang juga berperan dominan pada politik yang dulu diperankan ABRI,” ucapnya dalam diskusi virtual, Kamis (4/3).
Meski telah lama terbentuk, polisi siber pun belum memberikan proteksi pada para aktivis pro demokrasi yang menjadi korban kejahatan digital. Teror terhadap aktivis pro demokrasi berupa peretasan, pengawasan WhatsApp, email, hingga teror telepon pun menguap begitu saja.
Gelombang teror siber terhadap para aktivis penolak revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2019 disebutnya paling masif yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan, lanjutnya, gelombang teror siber pertama terhadap masyarakat sipil dengan korban paling banyak.
“Kita masih belum lihat tuh solusi dari permasalahan polisi siber sudah ada sejak 2016, kasus Ravio Patra pada April 2020 pun belum terpecahkan sampai sekarang,” tutur Wijayanto.
Ia pun mempertanyakan kelanjutan teror siber terhadap akademisi dalam kasus diskusi pemberhentian presiden di Universitas Gadjah Mada (UGM). Padahal, korban memperoleh ancaman pembunuhan melalui pesan telepon. Bahkan, pelaku sempat datang langsung ke rumah korban dengan mengutarakan kekerasan verbal.
Selain itu, juga kasus peretassan epidemiolog Universitas Indonesia (UI) pada Agustus 2020 lalu. Kemudian, terhadap media online Tirto.id.
“Lalu dimana polisi siber untuk kasus-kasus ini?,” ujar Wijayanto.
Berkaca dari temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), sambungnya, postur anggaran kepolisian yang besar diduga digunakan untuk mendukung aktivisme media digital. Meski menarik, kocak, dan edukatif, akun polisi siber masih mengandalkan pola kerja kampanye satu arah dan minim diskusi interaktif di ruang publik digital.
“Jadi, kalau kita melihat dalam akun siber Polri, tidak deliberasi, komentar-komentar tidak direspon, tidak ada dialog,” ucapnya.