close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Peserta aksi Kamisan berdiri di depan Istana Kepresidenan menuntut kasus pelanggaran HAM Tragedi Semanggi diselesaikan/Antara Foto
icon caption
Peserta aksi Kamisan berdiri di depan Istana Kepresidenan menuntut kasus pelanggaran HAM Tragedi Semanggi diselesaikan/Antara Foto
Nasional
Kamis, 08 April 2021 13:05

LPSK bandingkan nasib korban terorisme dengan pelanggaran HAM berat

Negara dinilai lebih perhatikan penanganan tindak pidana terorisme dibanding pelanggaran HAM berat.
swipe

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menilai, draf Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Unit Kerja Presiden Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat masih perlu penyempurnaan dari segi definisi tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi). Sebab, tupoksi unit kerja presiden berpotensi tumpang tindih dengan LPSK yang lebih berfokus pada aktivitas pemulihan yang juga melalui mekanisme nonyudisial.

Draf Raperpres tersebut juga dinilai perlu memisahkan secara lebih tegas antara pengertian pemulihan dan rekonsiliasi. Ia pun mengingatkan wacana bembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, semestinya lebih perlu didorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar upaya yudisial dapat berjalan.

“Kita tahu Menko Polhukam sudah merintis untuk pelembagaan baru, semacam KKR. Ini yang juga perlu dipertegas, apakah rekonsiliasinya perlu segera kita dorong dan apakah untuk tim unit kerja ini lebih khusus untuk pemulihan saja,” ucapnya dalam diskusi virtual, Kamis (8/4).

Menurut Hasto, negara lebih memperhatikan penanganan tindak pidana terorisme dibandingkan pelanggaran HAM berat. Padahal, perundang-undangan secara eksplisit menyatakan, korban tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM berat mempunyai hak atas ganti rugi/kompensasi dari negara.

“Sementara perhatian negara terhadap tindak pidana terorisme sudah sangat maju. LPSK juga sudah melakukan pembayaran kompensasi terhadap para korban, tetapi untuk tindak pelanggaran HAM berat masa lalu ini, kami masih belum mempunyai pola yang jelas,” tutur Hasto.

Nasib para korban pelanggaran HAM berat masa lalu dinilai belum jelas ihwal kepastian yudisialnya. Ia pun menganggap ganti rugi negara terhadap para korban pelanggaran HAM berat masa lalu belum sebanding dengan penderitaan mereka.

Diketahui, hanya 3 dari 15 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diselesaikan melalui meja hijau sejak Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) disahkan. Rinciannya, peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara (1984); kejadian Timor Timur; dan tragedi Abepura (2000).

Sedangkan, sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang belum dituntaskan, yakni peristiwa 1965-1966; penembakan misterius atau petrus (1982-1985); peristiwa Talangsari; tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II; kasus penghilangan orang secara paksa; kerusuhan Mei 1998; peristiwa Simpang KKA, Aceh (3 Mei 1999); peristiwa Jambu Keupok, Aceh (2003); pembunuhan dukun santet (1998-1999); peristiwa Rumoh Geudong, Aceh (1998); tragedi Paniai (2014); serta peristiwa Wasior dan Wamena (2001).

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan