Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai kepolisian perlu segera mengambil langkah-langkah jitu guna menjawab desakan untuk membuka kembali kasus dugaan pencabulan yang dialami tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. LPSK kemudian menawarkan solusi untuk dipertimbangkan kepolisian untuk mengakhiri polemik di tengah masyarakat.
Menurut Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu, salah satu pangkal persoalan dalam kasus tersebut adalah keraguan ibu korban terhadap proses penyelidikan yang berakhir dengan terbitnya Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan (SKP2), pada 10 Desember 2019.
”Kami menemukan kesan ibu korban meragukan terhadap hasil pemeriksaan visum et refertum dan visum et repertum psychiatricum yang telah dilakukan kepada korban sebanyak tiga kali, mulai dari pemeriksaan di Puskesmas Malili hingga Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulawesi Selatan Makassar,” jelas Edwin dalam keterangan tertulis, Rabu (13/10).
Untuk itu, LPSK mendorong Bareskrim memfasilitasi pemeriksaan forensik yang dinilai netral. Kepolisian, lanjut Edwin, juga dapat menawarkan pihak korban untuk memilih ahli forensik yang mereka nilai netral dan profesional. Pemeriksaan yang dilakukan berupa visum et repertum, visum et repertum psychiatricum dan psikologi forensik.
“Namun yang perlu menjadi perhatian semua pihak, termasuk pihak korban adalah semua pihak harus menganggap hasil pemeriksaan independen itu sebagai hasil yang final dan diterima semua pihak secara fair,” jelasnya.
Pemeriksaan semacam ini, kata Edwin, pernah dilakoninya pada saat bertugas mengusut penyebab kematian Pendeta Yeremia di Intan Jaya, Papua, beberapa waktu lalu. Saat itu, pihak keluarga menolak pemeriksaan jika dilakukan oleh pihak kepolisian dan lebih memilih ahli forensik lain yang dianggap netral.
“Pada saat itu polisi mengabulkan permintaan keluarga,” kata Edwin.
LPSK, lanjutnya, telah mengikuti kasus ini sejak 2019 lalu, jauh sebelumnya kasus ini viral di sosial media. LPSK juga telah menerima permohonan perlindungan dari korban pada 27 Januari 2020. Bahkan, LPSK menurunkan tim investigasi ke Sulawesi Selatan 2 (dua) hari kemudian, yakni 29 Januari 2020.
”Kami langsung menemui korban, ibu korban, berkoordinasi dengan penyidik di Polres Luwu Timur, dan menemui kuasa hukum korban di kantor LBH Makassar, dan berkomunikasi dengan psikolog yang sempat lakukan asesmen psikologis kepada ketiga anak tersebut,” ujar Edwin.
Kemudian, pada 19 Februari 2020, LPSK secara mandiri memeriksa psikologi kepada korban dan ibu korban di Kota Makassar. Alasan pemeriksaan di Kota Makassar atas permintaan ibu Korban yang kurang percaya dengan pemeriksaan psikologi di Luwu Timur.
Merujuk hasil pemeriksaan tersebut, LPSK mengabulkan permohonan perlindungan pada 13 April 2020 berupa Pemenuhan Hak Prosedural (PHP) dan pemberian bantuan psikologis. Edwin mengatakan bahwa LPSK ketika itu tetap bersikukuh memberikan perlindungan kepada korban meskipun penyelidikannya telah dihentikan.
”Melalui program PHP, LPSK terus memonitor perkembangan kasus dengan terus berkoordinasi dengan Polres Luwu Timur, melakukan audiensi dengan Kapolda Sulawesi Selatan serta telah bertemu dengan Wakil Gubenur,” kata Edwin.
Dijelaskan Edwin, pihaknya saat ini mendapatkan permohonan perlindungan kembali dari ibu dan tiga anak tersebut. Dasar permohonan ini akan ditindak lanjuti oleh LPSK dengan berkoordasi dengan Bareskrim.