Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang berjudul Temuan Tim Peristiwa 24-30 September 2019 Atas Penyampaian Aspirasi Mahasiswa dan Pelajar Terhadap Revisi UU KPK dan RKUHP, menuai kritik.
Kepala Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, mengatakan lima tindakan yang diambil Komnas HAM patut dipertanyakan. Salah satunya adalah pembentukan tim pascaaksi. Menurut dia, tim seharusnya dibuat sebelum atau saat aksi terjadi.
"Seharusnya tim ini dibentuk sebelum atau pada saat aksi terjadi, bukan dilakukan setelah aksi, bahkan dilakukan setelah audiensi dan pengaduan. Apa yang didapat Komnas HAM setelah peristiwa terjadi? Tentu tidak mendapat informasi aktual dari lapangan dan sifatnya independen," ujar dia, Jakarta, Jumat (31/1).
Di sisi lain, data yang digunakan Komnas HAM juga tak lepas dari sorotan. Pasalnya, komisi tersebut hanya menggunakan data dari pihak kepolisian, khususnya Polres Metro Jakarta Barat. Hal itu, pada gilirannya dipertanyakan Tim Advokasi untuk Demokrasi.
"(Aksi) di Jakarta, sumber dari Polres Metro Jakarta Barat. Bagaimana mungkin lembaga negara yang dibentuk melalui undang-undang (Komnas HAM), mendapatkan hasil temuan dari data polisi saja?" ujar dia.
Demonstrasi 24-30 September 2019 diketahui sebagai unjuk rasa terbesar pasca-Reformasi 1998. Aksi itu dilakukan di berbagai daerah. Massa aksi membawa tuntutan penolakan revisi UU KPK, RKUHP, dan beleid lain yang dianggap kontroversial.
Demonstrasi itu merenggut lima nyawa. Mereka adalah Bagus Putra Mahendra (15), Maulana Suryadi (23) Akbar Alamsyah (19) Immawan Randi (22) dan Yusuf Kardawi (19). Polisi baru menetapkan anggota Polda Sulawesi Tenggara, Brigadir AM sebagai tersangka atas penembakan terhadap Randi. Sementara sisanya belum diketahui pelakunya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan laporan yang dikeluarkan setelah tiga bulan aksi Reformasi Dikorupsi, menunjukkan kinerja Komnas HAM tidak maksimal. Sebab, peristiwa tersebut menyangkut ada indikasi pelanggaran HAM.
Semestinya laporan tersebut dikeluarkan maksimal dua minggu setelah gelombang aksi sepekan terakhir September 2019. Di sisi lain, kritik disampaikan karena isinya dinilai didominasi tentang teori HAM semata. Semestinya, komisi tersebut fokus pada ada atau tidaknya pelanggaran HAM pada aksi tersebut.
"Seharusnya yang disampaikan oleh Komnas HAM sebagai penyelenggara negara, ada tidak terjadinya pelanggaran HAM. Kunci pemantauan di Komnas HAM yang diamanatkan UU 39 Tahun 1999 adalah mencari indikasi dugaan pelanggaran HAM dalam 1.489 orang yang ditangkap itu," tegas dia.
Pada 9 Januari 2020, Komisioner Komnas HAM, Hairansyah, menyampaikan menemukan lima pelanggaran HAM yang terjadi pada demonstrasi 24-30 September 2019. Pelanggaran itu menyangkut hak untuk hidup, hak memperoleh keadilan, hak anak, hak atas rasa aman dan hak atas kesehatan.
Dalam laporan Komnas HAM, per 15 Oktober 2019 terdapat 1.489 orang ditangkap di Jakarta akibat menyampaikan pendapat di muka umum pada 24-30 September 2019. Dari jumlah itu, 1.109 orang dinyatakan tidak bersalah. Sementara 308 demonstran berstatus tersangka.
Dari 308 orang itu, 218 tersangka ditangguhkan, 92 demonstran proses hukum diselesaikan melalui diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, dan 70 orang lainnya ditahan.