close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kivlan Zen menggugat Menko Polhukam Wiranto terkait pembentukan Pam Swakarsa. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Kivlan Zen menggugat Menko Polhukam Wiranto terkait pembentukan Pam Swakarsa. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Sabtu, 24 Agustus 2019 08:00

Luka lama Pam Swakarsa dalam gugatan Kivlan Zen

Kivlan Zen menggugat Wiranto secara perdata terkait pembentukan Pam Swakarsa pada 1998.
swipe

Pada 5 Agustus 2019, kuasa hukum mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kaskostrad) Mayjen TNI Purnawirawan Kivlan Zen, Tonin Tachta Singarimbun, melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Kivlan menggugat perdata terkait pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa pada 1998 atas perintah Wiranto. Saat itu, Wiranto menjabat sebagai Panglima ABRI (sekarang TNI), sedangkan Kivlan merupakan perwira tinggi tanpa jabatan di Mabes TNI.

Melawan usai dibui

Tak tanggung-tanggung, Kivlan melayangkan gugatan perdata sebesar Rp1 triliun kepada mantan bosnya itu. Gugatan tersebut terdiri dari gugatan materiel dan imateriel.

Gugatan materiel, antara lain menanggung biaya operasional Pam Swakarsa dengan mencari pinjaman, menjual rumah, dan mobil sebesar Rp8 miliar; serta menyewa rumah karena sudah menjualnya hingga mendapatkan rumah lagi pada 2018 atas bantuan Jenderal Gatot Nurmantyo sebesar Rp8 miliar.

Sementara gugatan imateriel, antara lain menanggung malu karena utang sebesar Rp100 miliar, tak mendapatkan jabatan yang dijanjikan Rp100 miliar, mempertaruhkan nyawa dalam Pam Swakarsa Rp500 miliar, dipenjara sejak 30 Mei 2019 Rp100 miliar, serta mengalami sakit dan tekanan batin sejak November 1998 hingga sekarang Rp184 miliar.

Saat dihubungi, kuasa hukum Kivlan, Tonin Tachta mengungkapkan, sidang gugatan perdata akan berlanjut ke meja mediasi tahap kedua. Sebab, di dalam mediasi tahap pertama, kuasa hukum Wiranto, Adi Warman, beranjak pulang. Sidang gugatan kedua rencananya akan berlangsung pada 29 Agustus 2019.

“Kita lagi menunggu, setelah ditunda dua minggu,” kata Tonin saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/8).

Mayor Jenderal TNI Purn Kivlan Zen (tengah) berjalan meninggalkan Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (13/5). /Antara Foto

Tonin mengaku sudah menyiapkan beberapa saksi. Persentase kelengkapan barang buktinya sudah mencapai 70%. Dia optimis, gugatan kliennya akan berhasil.

Sebab, menurutnya, Wiranto sendiri sudah mengakui menerima uang sebesar Rp10 miliar dari dana non-budgeter Bulog dalam sidang tindak pidana korupsi mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung pada 2002.

“Uang itu belum sampai ke Pak Kivlan. Itu biasa di angkatan, anak buah disuruh, kemudian biayanya mencari sendiri dulu. Ada janji, kalau berhasil akan dikasih pangkat. Tapi mana?” tuturnya.

Tonin membantah, gugatan itu baru muncul sekarang. Kliennya, kata dia, sebenarnya sudah menagih sejak 1999.

“Tapi, Pak Kivlan enggak tahu caranya. Cuma minta-minta saja. Kalau (sudah) paham, ya digugat,” ujar Tonin.

Namun, Tonin tak menampik, gugatan itu merupakan imbas karena Kivlan dijebloskan ke penjara. Sejak dipenjara, Kivlan semakin berani mengungkap perkaranya soal Pam Swakarsa. Sebelumnya, kata dia, kliennya masih dibayang-bayangi ketakutan karena dinilai membahayakan.

Sebelumnya, Kivlan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal. Penetapan tersangka ini terkait pengembangan kasus kerusuhan 21-22 Mei 2019.

Kivlan lalu ditahan di Rutan Guntur Polda Metro Jaya sejak 30 Mei 2019 selama 20 hari. Lalu, polisi memperpanjang masa penahanan Kivlan selama 40 hari, terhitung sejak 18 Juni 2019. Pada 22 Agustus 2019, Polda Metro Jaya menyerahkan tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Akar masalah

Semuanya bermula 21 tahun lalu. Saat itu, suasana politik memanas jelang Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR), yang digelar pada 10-13 November 1998.

Menurut Kivlan, di dalam draf gugatannya, Wiranto yang saat itu menjabat Panglima ABRI mendukung SI MPR atas perintah Presiden BJ Habibie. Ada kelompok yang tidak mendukung Habibie dan SI MPR yang diketahui Wiranto, antara lain kelompok dari PDI-P, kelompok Managara Manurung, kelompok Ratna Sarumpaet, dan kelompok Letjen Haryoto (mantan Kasospol). Selain itu, tentu saja aktivis mahasiswa.

Penolakan terhadap SI MPR karena massa tak mempercayai Habibie yang akan mengadakan pemilu jujur dan adil, dan sidang itu juga dipandang tak ada artinya bila anggotanya masih orang Orde Baru. Mereka pun menuntut peradilan terhadap Soeharto dan pencabutan dwifungsi ABRI.

Kivlan di dalam bukunya Konflik dan Integrasi TNI-AD (2004) menulis, Wiranto memerintahkan dirinya untuk mengerahkan massa pendukung SI MPR sebagai tandingan kekuatan anti-SI MPR yang disusupi dukungan purnawirawan ABRI, seperti Benny Moerdani, Kemal Idris, Saiful Sulun, Kemal Idris, Haryoto PS, dan Haryadi Darmawan.

Mereka disinyalir berusaha mengagalkan SI MPR karena menginginkan terbentuknya pemerintahan Koalisi Nasional, MPR revolusi tanpa pemilu, dan perubahan TAP MPR.

Menko Polhukam Wiranto (kanan) didampingi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo (kiri) memberikan keterangan pers seusai Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) Tingkat Menteri di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (21/8). /Antara Foto.

“Jenderal Wiranto kira-kira mengatakan, ‘Kiv, kok orang anti-SI semua. Saya dengar kamu bisa mengalahkan massa yang masuk ke MPR. Nah, sekarang kamu kerahkan lagi mendukung SI. Ini juga perintah dari Presiden Habibie,” tulis Kivlan.

Berdasarkan pengakuannya dalam draf gugatan terhadap Wiranto, dana awal sebesar Rp400 juta diberikan kepada Kivlan untuk biaya operasional Pam Swakarsa. Dana itu berasal dari seorang pengusaha.

“Ketika itu, memang belum ada istilah Pam Swakarsa, tetapi pendukung SI,” tulis Kivlan.

Kivlan diiming-imingi Wiranto, jika berhasil dalam rencana ini, maka akan diberikan jabatan. Sebagai perwira tinggi tanpa jabatan, setelah berhenti dari jabatan Kaskostrad pada 20 Juni 1998, Kivlan terpikat.

Kivlan berhasil menggerakkan 30.000 massa untuk mengamankan SI MPR. Namun, Kivlan tak mendapatkan apa yang dijanjikan Wiranto. Dia pun, berdasarkan pengakuannya di dalam draf gugatan, menanggung kerugian materiel dan imateriel.

Selama 8 hari, Kivlan mampu membiayai uang makan dan transportasi sekitar 30.000 anggota Pam Swakarsa yang berasal dari Jabodetabek, Cianjur, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Bandung, Tasikmalaya, Lampung, dan Makassar.

Disebutkan di dalam draf gugatan Kivlan, biaya operasional Pam Swakarsa membengkak hingga mencapai Rp8 miliar.

Ihwal Pam Swakarsa dan tragedi itu

Donald J. DePorter di dalam buku Managing Politics and Islam in Indonesia (2002) menulis, sekitar 30.000 anggota Pam Swakarsa membawa bambu runcing memasuki jalan-jalan Jakarta, mengintimidasi dan memerangi para demonstran anti-SI MPR.

Menruut Donald, Pam Swakarsa terdiri dari berbagai elemen, yang mencakup organisasi Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (Kisdi), Forum Umat Islam untuk Keadilan dan Konstitusi (Furkon), Pemuda Pancasila, Pancamarga, para pengangguran, preman, dan anak-anak putus sekolah.

Tempo edisi 24 November 1998 menurunkan artikel “Pam Swakarsa: Aktor atau Korban?” Di dalam tulisan itu, disebutkan perihal korban anggota Pam Swakarsa saat terjadi aksi massa dan terbentuknya pasukan partikelir ini.

Anggota Pam Swakarsa yang jumlahnya puluhan ribu berkumpul di beberapa titik di Jakarta, seperti di kompleks Gedung DPR/MPR, Masjid Istiqlal, dan Masjid Al Banna. Mereka dibawa truk-truk untuk ditempatkan di beberapa titik demonstrasi.

Tempo menyebut, proses rekrutmen anggota Pam Swakarsa sangat acak. “Seorang penjual minuman di lingkungan Masjid Istiqlal mengaku diminta mencari calon anggota Pam Swakarsa. Dia mengaku memperoleh seratus orang,” tulis Tempo edisi 24 November 1998.

Mahasiswa turun ke jalan menolak Sidang Istimewa MPR pada November 1998. /Berbagai Peristiwa dan Penanganannya, 1998-1999/commons.wikimedia.org

Di tempat lain, tepatnya di Kalipasir, Jakarta Pusat, tulis Tempo, seorang pengangguran mengaku usai salat Jumat dia menerima pembagian nasi bungkus gratis, kemudian diminta mengisi formulir pendaftaran Pam Swakarsa.

Tempo menulis, motif mereka tak ada hubungannya dengan agama atau politik, tetapi “bisnis”. Beberapa orang yang diwawancarai Tempo mengaku ikut Pam Swakarsa karena memperoleh uang saku, sementara mereka menganggur.

Di dalam artikel “Ketika Senayan Beralih Rupa” di Tempo edisi 24 November 1998, seorang koordinator Pam Swakarsa mengatakan, biaya makan dan operasional setiap anggota antara Rp100.000 dan Rp200.000 per hari. Uang itu untuk makan sehari-hari. Di luar itu, mereka mendapatkan jatah sebungkus rokok dan uang saku Rp5.000 per orang.

Akan tetapi, tampaknya uang yang mereka terima berbeda-beda. Di dalam artikel “Furkon Digandeng Militer, Nikmat Membawa Sengsara” yang terbit di Tempo edisi 17 November 1998 disebutkan, seorang komandan pasukan Islam dibayar Rp5 juta, sedangkan personelnya Rp10.000 setiap hari.

“Di samping itu, diberi tiga kali makan, serta bonus sebungkus rokok yang dianggap lebih ‘menjanjikan’ ketimbang uang dinas petugas resmi. Tak mengherankan bila seorang komandan biasanya terlihat tengah memanggul tas ransel berisi segepok duit untuk dibagi-bagikan kepada semua koordinator lapangan,” tulis Tempo edisi 17 November 1998.

Dikabarkan, sponsor pasukan partikelir ini adalah Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan Wakil Ketua DPR/MPR Abdul Ghafur. Namun, dalam artikel “Wiranto: Semua Dipolitisir ke Saya” di Tempo edisi 24 November 1998, Wiranto membantahnya.

Bentrok mahasiswa dan aparat di Semanggi, Jakarta, pada 1998. /Berbagai Peristiwa dan Penanganannya, 1998-1999/commons.wikimedia.org.

Tempo edisi 24 November 1998 menyebut, Pam Swakarsa dipersenjatai dengan bambu runcing.

“Munir dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyerahkan barang bukti kepada polisi: 40 bambu runcing dari Taman Ismail Marzuki, 132 bambu runcing dari Tugu Proklamasi, sebuah samurai, satu batang besi bengkok, empat ikat kepala, dan selembar sapu tangan,” tulis Tempo.

Tempo menulis, di Semanggi, ketika mahasiswa dan aparat keamanan berhadap-hadapan, tiba-tiba pasukan swasta itu datang, lalu berbaris di depan barikade aparat, menyerupai tameng.

Hal ini disebut Kivlan di dalam draf gugatannya. Dia menulis, pada 9 November 1998 diadakan rapat di rumah dinas Panglima ABRI dengan memberi pengarahan dan ketetapan dalam menghadapi massa anti-SI MPR. Pam Swakarsa ditempatkan di posisi terdepan berhadapan langsung dengan massa. Sementara polisi di garis dua, dan TNI di garis tiga.

Kenyataannya, Pam Swakarsa seperti diadu dengan massa aksi. Bahkan, yang lebih ironis, mereka malah mengundang kemarahan rakyat.

Di dalam bukunya Konflik dan Integrasi TNI-AD, Kivlan menulis, pada 10 November 1998 terjadi bentrok di sekitar Tugu Proklamasi yang melukai tujuh anggota Pam Swakarsa. Di Cawang, tulis Tempo, tiga anggota Pam Swakarsa tewas akibat dikeroyok massa, tanpa ada aparat melindungi mereka.

Buka bukti baru

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Pemerintahan dan Keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad), yang juga mantan aktivis 1998, Muradi menceritakan pengalaman pahit saat dirinya menginap di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas, Jakarta. Ketika itu, anggota Pam Swakarsa mengepungnya.

“Saya pernah diacungkan golok sama mereka. Sempat ramai saat mahasiswa dari Forkot (Forum Kota) ada yang meninggal. Jadi, kalau dibilang kami (aktivis 1998) dendam, kami marah, iya. Tapi, kalau diproses sekarang, malah jadi masalah kemanusiaan. Kivlan Zen dan Wiranto kan usianya sudah 70 tahun ke atas,” ujar Muradi saat dihubungi, Rabu (22/8).

Menanggapi gugatan Kivlan Zen kepada Wiranto, Muradi menganggap, hal itu kurang menarik karena setengah hati membeberkan sekelumit fakta pelanggaran HAM.

Dia menilai, gugatan ini hanya urusan pribadi saja. Gugatan Kivlan, menurut dia, lebih tampak nuansa politis ketimbang upaya penegakkan hukum. Sebab, bila benar-benar ditelusuri, kasus Pam Swakarsa bakal berimbas terhadap petinggi yang memberi perintah kepada Wiranto.

“Ini kerjaan panggungnya Kivlan Zen saja. Lelah juga kita akhirnya karena yang akan kita hukum juga orang-orang tua. Saat diproses mengingingkan penangguhan, dan segala macamnya,” tutur Muradi.

Di dalam gugatannya, Kivlan Zen menyebutkan kronologi pembentukan Pam Swakarsa. Alinea.id/Oky Diaz.

Dihubungi terpisah, Deputi Koordinasi Kontras Feri Kusuma mengatakan, gugatan Kivlan terhadap Wiranto terkait Pam Swakarsa membuka fakta dan bukti baru skenario tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM pada 1998. Gugatan itu, kata Feri, bisa menjadi pintu masuk untuk Komnas HAM dan Jaksa Agung agar segera memprosesnya.

“(Gugatan itu) membuktikan pelaporan Komnas HAM yang menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat, dengan Wiranto sebagai penanggung jawabnya. Gugatan Kivlan tersebut memberikan fakta baru terkait keterlibatan aktor-aktor lain yang mungkin belum disebutkan,” tutur Feri saat dihubungi, Jumat (23/8).

Feri menuturkan, poin pembuktian unsur dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II di draf gugatan Kivlan sangat jelas. Kini, Kontras hanya menunggu, apakah Presiden Joko Widodo berani mengambil tindakan untuk meminta Jaksa Agung membawanya ke ranah penyidikan.

“Selama ini, laporan Komnas HAM mengenai dugaan pelanggaran HAM pada 1998 belum pernah ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Seharusnya, keterangan Kivlan Zen dan Wiranto diberikan secara resmi kepada Komnas HAM,” kata dia.

Di dalam gugatan Kivlan pula, disebutkan aktor-aktor dan aliran dana Pam Swakarsa. Menurut Feri, selama ini sumber anggaran pembentukan Pam Swakarsa dan bagaimana detail pembentukannya, belum pernah dibeberkan ke publik.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan