Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan keputusan majelis hakim atas uji materi yang membatalkan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah.
KPAI menganggap SKB 3 menteri hanya berlaku di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sudah tepat. Sebab, peserta didik di sekolah negeri berasal dari berbagai suku maupun agama yang berbeda. Maka, tidak tepat jika di sekolah negeri mengatur ketentuan penggunaan seragam sekolah merujuk pada agama tertentu.
Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah harus memperkuat nilai-nilai kebangsaan, persatuan dan kesatuan, serta tempat menyemai keberagaman.
Seragam dan atribut warga sekolah negeri, kata Retno, merupakan perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Ia mengingatkan, mendidik anak harus dengan menumbuhkan kesadaran diri, bukan atas dasar paksaan. Kesadaran dibangun melalui proses dialog untuk transfer pengetahuan, memberikan kebebasan memutuskan, dan orang dewasa disekitar anak memberikan contoh. “Termasuk mendidik mengenakan jilbab atau menutup aurat,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (7/5).
Dijelaskan Retno, SKB 3 menteri ini memberikan kebebasan dalam menentukan seragam dan atribut yang dipakai. Hak menggunakan atribut keagamaan merupakan wilayah individual (guru, murid, dan orang tua), bukan keputusan sekolah negeri tersebut. SKB 3 menteri bisa berdampak positif bagi tumbuh kembang anak perempuan secara fisik dan mental.
Berdasarkan pengawasan KPAI, banyak kasus siswi menjadi korban bullying atau perundungan dalam bentuk kekerasan verbal dan psikis karena tidak menggunakan jilbab. Bahkan, kata dia, ada puluhan kasus siswi mengalami gangguan kesehatan mental dan mendapatkan dukungan pemulihan dari psikolog. Para siswi pun tidak percaya diri, depresi, dan hendak melakukan percobaan bunuh diri.
“Puluhan anak-anak tersebut juga mengalami pembullyan dari lingkungannya akibat tidak berjilbab, bahkan menjadi cemas karena ada ancaman bahwa kalau dia tidak berjilbab akan menyeret ayahnya dan saudara laki-lakinya ke neraka. Mereka juga tertekan karena dinilai belum dapat hidayah dalam berpakaian dan dianggap bukan wanita baik-baik,” tutur Retno.