Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 yang didalamnya terdapat larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk mendaftar sebagai calon legislatif (caleg), menuai berbagai komentar dari berbagai pihak, utamanya para politisi di Senayan. PKPU yang tengah digugat ke Mahkamah Agung (MA) itu, diyakini akan dibatalkan.
Sejumlah politisi parlemen memandang peraturan KPU tersebut, terutama pada pasal pasal 7 huruf n, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin hak-hak seseorang untuk berpolitik.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Politisi PDI-P Perjuangan, Masinton Pasaribu. Menurutnya, peraturan KPU tersebut telah membatasi hak-hak politik warga negara, yang menurutnya bukan wewenang dari KPU.
"Itu seharusnya yang memutuskan Undang-Undang dan putusan pengadilan, bukan peraturan yang dibuat secara internal oleh lembaga, yang itu sebenarnya, lembaga itu dibuat oleh Undang-undang," kata Masinton dalam diskusi yang bertajuk "PKPU Larang Eks Narapidana Korupsi, Apa Kabar Elite Parpol" di DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa,(31/7).
Oleh karenanya, menurut Masinton, KPU tak perlu bersikukuh mempertahankan PKPU tersebut karena menabrak Undang-Undang.
Penolakan serupa disampaikan mantan anggota DPR Wa Ode Nurhayati, yang merupakan mantan napi korupsi kasus penyuapan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID). Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang divonis 6 tahun penjara oleh Majelis Hakim Tipikor pada tahun 2012 itu menilai, peraturan KPU tersebut cacat formil dan cacat materiil.
"Peraturan ini tidak ada di Undang-undang Pemilu, jadi disini cacat meteriilnya. Sebab, tidak ada pertanggungjawabannya, karena syarat materilmya tidak terpenuhi," kata Wa Ode menuturkan.
Mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu merasakan dampak langsung pemberlakuan PKPU No. 20 Tahun 2018. Wa Ode gagal mendaftarkan diri menjadi caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN) daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Tenggara, karena memiliki label mantan napi korupsi.
"Oleh karenanya, saya gugat ke Mahkamah Agung (MA). Tapi, gugatan itu bukan semata-mata untuk kekuasan, melainkan untuk penegakan hukum kita, karena hukum itu harus jadi panglima," katanya menjelaskan.
Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, meyakini gugatan PKPU itu akan dikabulkan. Menurutnya, MA mau tidak mau harus mengacu pada UUD 1945, yang menjamin hak berpolitik warga negara, untuk menguji PKPU tersebut.
Lebih jauh, ia mendorong kepada MA untuk memutuskan hasil uji materi tersebut sebelum KPU menetapkan daftar calon tetap (DCT). Menurut Margarito, hal ini penting dilakukan agar tak menimbulkan masalah baru ke depannya.
"Saya mendorong agar MA memutuskannya sebelum ditetapkannya DCT, agar tak menciptakan masalah baru lagi, dan biar orang-orang tak menduga-duga ada unsur politik dalam putusannya, ini bisa jadi soal," katanya.