close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi hoaks coronavirus. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi hoaks coronavirus. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Senin, 07 Desember 2020 14:40

Mafindo: Ada 712 hoaks yang beredar mengenai Covid-19

Indonesia juga mendapat ranking lima dunia untuk penyebaran rumor, stigma, dan teori konspirasi Covid-19.
swipe

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengungkapkan, Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat hoaks yang sangat tinggi.

“Kalau kita lihat, Indonesia ini banyak sekali hoaks yang terkait dengan Covid-19. Sejak Juli 2020, kami mencatat kenaikan jumlah hoaks terkait dengan vaksin Covid-19,” ujarnya dalam dialog yang digelar oleh FMB9.

Selain itu, Indonesia juga mendapat ranking lima dunia untuk penyebaran rumor, stigma, dan teori konspirasi Covid-19. Saat ini, Mafindo menghitung ada 712 hoaks yang beredar mengenai Covid-19.

Selanjutnya, Septiaji menegaskan, hoaks vaksin Covid-19 merupakan ancaman bagi proses vaksinasi. Padahal program ini merupakan kunci untuk keluar dari situasi pandemi.

“Ini menghasilkan dampak yang sangat serius, termasuk ke dalam konflik sosial yang diduga karena hoaks Covid-19, misalnya, masyarakat menjadi terintimidasi terhadap tenaga medis, masyarakat mengabaikan protokol kesehatan, dan lain-lain,” ucapnya dalam Dialog Produktif berjudul Tolak dan Tangkal Hoaks, Senin (7/12).

Septiaji menyebutkan, tingkat penerimaan hoaks tentang Covid-19 berpengaruh terhadap penerimaan hoaks vaksin Covid-19 itu sendiri. Saat ini, masih ada 17 persen masyarakat yang Indonesia yang tidak percaya dengan Covid-19.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Eksekutif Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Indonesia Julitasari Sundoro mengatakan, terjadinya penolakan vaksin di tengah masyarakat disebabkan isu-isu yang salah.

“Vaksin hesitansi adalah penolakan terhadap pelayanan program imunisasi yang tersedia. Ini merupakan masalah yang kompeks dan spesifik yang sering terjadi di dunia. Penyebabnya bervariasi, tergantung waktu, lokasi, jenis vaksin, dan siapa pembuat serta penyebar hoaks,” ujarnya.

Julitasari menambahkan, seiring dengan lahirnya vaksin pada abad ke-19, lahir gerakan antivaksinasi yang vokal menyuarakan bahaya vaksinasi. Untuk itu, dokter memegang peran penting untuk mencerdaskan dan tidak terlibat dalam pusaran propaganda antivaksinasi.

“Masyarakat menengah ke bawah akan lebih mudah memercayai isu yang tidak benar terkait vaksin. Apalagi, berita tersebut disebarkan oleh profesi (dokter) atau tokoh masyarakat,” katanya.

“Ada juga dokter yang menyatakan, tidak perlu buang-buang uang untuk vaksin, lebih baik untuk PCR. Beliau tidak paham kalau PCR itu dibutuhkan untuk screening penemuan kasus, sedangkan vaksin untuk pencegahan,” imbuhnya.

Masyarakat yang terpengaruh hoaks dapat melakukan penolakan ketika pemerintah menginisiasi program vaksinasi. Penolakan-penolakan tersebut dapat menghambat program.

“Untuk itu, kita perlu melakukan kolaborasi untuk melaksanakan strategi klarifikasi yang intensif kepada masyarakat cenderung memercayai berita buruk,” pungkasnya.

img
Firda Junita
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan