Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, pentingnya reformasi birokrasi karena di masa depan segalanya serba digital. E-government (pemerintahan berbasis elektronik) tidak terhindarkan. Aparatur sipil negara (ASN) harus visioner karena bekerja tidak lagi bisa dituntaskan secara manual.
Dia menjelaskan, birokrasi Indonesia rumit dan bertele-tele. Akibatnya banyak perusahaan-perusahaan start up malah mengantongi izin usaha di negara tetangga seperti, Singapura. Padahal, beroperasi di Indonesia. Jadi, pelayanan publik saat ini harus berubah menjadi lebih baik.
“Jangan main-main. Zaman sekarang kok masih ada. Anak saya itu dokter (Ikhwan Zein), mau mendirikan klinik. Harus izin ke Kemnaker (Kementerian Tenaga Kerja) di suatu tempat. Dijadwalnya itu datang jam sekian. Dibuka jam 8 sampai 11 khusus perizinan. Dia datang jam 8, tetapi sampai jam 10 pegawainya belum datang. Yah, pulang,” ujar Mahfud dalam sambutan Launching Aplikasi Umum SPBE; Bidang Kearsipan Dinamis dan Bidang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik yang disiarkan secara daring, Selasa (27/10).
Menurut Mahfud, semestinya pelayanan publik harus terbuka. Kesiapan pelayanan publik harus lebih cepat daripada orang yang meminta jasanya. Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) bisa mewujudkan tata kelola yang lebih efektif, transparan, dan akuntabel.
“(Jadi, kasus seperti anak saya) tadi bisa ketahuan,” ucapnya.
SPBE bisa meminimalisir praktik korupsi dalam pelayanan publik. Selain itu, dapat pula memangkas biaya dan waktu, sehingga proses kerja lebih efektif dan efisien. Sebenarnya SPBE bukanlah barang baru, termasuk di kalangan birokrasi pemerintah. Namun, dalam mewujudkannya memang lebih bersifat suka-suka, maka terjadi inefisiensi.
Masalah utamanya, birokrasi belum siap dan ASN belum paham teknologi.
“Nah, tugas Kemenpan RB salah satunya kayak begini, agar e-government itu berjalan. Ini untuk mencegah korupsi, orang-orang yang tidak mau itu tidak bisa lagi soalnya,” tutur Mahfud.
Di sisi lain, terdapat potensi kebocoran data sebesar 65% karena lemahnya keamanan pusat data. Lalu, masalah keamanan ruang server dalam proses transmisi data melalui jaringan internet. Hal itu terjadi karena sebanyak 27.400 database multi platform dan multi standar (di instansi pusat dan daerah) tidak terintegrasi satu sama lain.