Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, enggan diseret dalam polemik penghentian penyelidikan 36 kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia pun meminta pertanyaan seputar hal tersebut ditujukan langsung kepada pihak KPK.
"Pertama, saya tidak tahu apa saja kasusnya. Yang kedua, memang secara struktural dia bukan bawahan Menko Polhukam. Katanya disuruh independen, jadi kita enggak ikut campur," kata Mahfud di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (21/2).
Karena tak berada di bawah kendalinya, Mahfud mengatakan pihak KPK tak berkoordinasi dengannya sebelum memutuskan menyetop 36 perkara tersebut. Dia bahkan menolak jika KPK hendak berkoordinasi dengannya.
"Tidak boleh koordinasi dengan saya. Kalau mau koordinasi dengan saya, enggak mau. Karena itu bukan bawahan saya. Enggak boleh dan itu wewenang dia. Jadi tanya ke KPK saja, mungkin ada alasan-alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Saya tidak tahu," kata Mahfud menjelaskan.
Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, penghentian penyelidikan 36 perkara tersebut dilakukan demi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.
"Tujuan hukum harus terwujud. Kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Tidak boleh digantung-gantung untuk menakut-nakuti pencari kepastian hukum dan keadilan," kata Firli hari ini.
Namun keputusan tersebut dinilai negatif oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Wana Alamsyah mengatakan, ada potensi penyalahgunaan kewenangan oleh pimpinan KPK dalam kebijakan tersebut.
Apalagi Firli yang berstatus perwira tinggi aktif berpangkat jenderal bintang tiga di kepolisian, dinilai dapat membuka celah konflik kepentingan dalam menghentikan perkara.
"Jangan sampai pimpinan KPK melakukan abuse of power dalam memutuskan penghentian perkara. Apalagi ketua KPK merupakan polisi aktif, sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan pada saat menghentikan kasus. Terutama yang diduga melibatkan unsur penegak hukum," kata Wana.