Pemerintah menghormati vonis Pengadilan Negeri (PN) Kota Bogor yang mengabulkan permohonan praperadilan atas pencabutan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM). Praperadilan diajukan 3 dari 4 tersangka, yakni Zaka Pringga Arbi, Wahid Hasyim, dan Muhammad Fiqar.
"Kami melalui rapat koordinasi tadi menyatakan, menghormati vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Kota Bogor, red) atas gugatan praperadilan dari 4 tersangka pelaku," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, dalam keterangan videonya, Rabu (18/1).
Selain membuat SP3 berlaku kembali, hakim juga memutuskan surat penetapan tersangka atas nama para pemohon dalam Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: SP.Sidik/813.a/RES 1.24/I/2020/Sat Reskrim tanggal 1 Januari 2020 tidak sah. Artinya, status tersangka para pemerkosa yang menjadi pemohon dinyatakan gugur.
Meskipun demikian, Mahfud mengingatkan, vonis PN Kota Bogor tidak memutus substansi perkara. Karenanya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Polhukam mendorong kasus ini dilanjutkan.
"Praperadilan belum memutus pokok perkara, belum memutus substansi perkara. Sehingga, jika proses ini dilanjutkan kembali, maka tidak dapat dikatakan ne bis in idem karena pokok perkaranya, yaitu kejahatan sesuai dengan Pasal 286 KUHP, belum pernah disidangkan," urai Mahfud.
Kasus pemerkosaan ini terjadi pada 6 Desember 2019. Kala itu, pegawai honorer Kemenkop UKM sekaligus korban, ND, diperkosa 4 rekan kerjanya saat perjalanan dinas di Bogor. Satu pelaku lainnya adalah Nana.
Saat peristiwa terjadi, Zaka adalah CPNS, Wahid selaku PNS bagian kepegawaian, Fikar merupakan tenaga honorer, dan Nana pegawai alih daya (oustsorcing). Keempatnya sudah dicepat, sedangkan korban mengundurkan diri.
Keluarga korban lalu mengadukan kasus ini kepada kepolisian, 20 Desember 2019. Keempat pelaku lantas ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap melanggar Pasal 286 KUHP dan ditahan pada 14 Februari 2020.
Singkat cerita, pihak korban dan pelaku lalu melakukan mediasi dan berdamai. Bahkan, ND dinikahkan dengan Zaka pada 13 Maret 2020 dan kepolisian menyetop perkara melalui penerbitan SP3 Nomor S.PPP/813.b/III/RES.1.24/2020 tertanggal 18 Maret 2020.
Sementara itu, Zaka menggugat cerai ND. Padahal, dia tak pernah berperilaku layaknya suami, seperti tidak tinggal satu atap bahkan menghilang sejak acara lamaran, tidak mendaftarkan korban sebagai istri ke Kemenkop UKM, hingga memberi nafkah Rp300.000 dalam setahun.
Lantaran kasus ini viral, Mahfud MD lalu angka bicara. Baginya, terbitnya SP3 tersebut tidak dibenarkan secara hukum.
Polresta Bogor kemudian membatalkan SP3 itu dan melanjutkan perkara. Namun, ketiga tersangka mengajukan praperadilan dan akhirnya dikabulkan PN Kota Bogor.
Periksa penyidik
Di sisi lain, Mahfud mendorong Divisi Propam Polri memeriksa terhadap para penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara ini. Pangkalnya, dinilai tidak profesional sejak awal, seperti penerbitan SP3, baik alasannya maupun tujuannya.
"Surat pemberitahuan SP3 kepada jaksa menyatakan, perkara di SP3 karena restorative justice. Tetapi, surat pemberitahuan kepada korban menyatakan, SP3 dikeluarkan karena tidak cukup bukti. Satu kasus yang sama diberi alasan berbeda kepada pihak yang berbeda," ungkapnya.
Mahfud berpendapat, alasan keadilan restoratif (restorative justice) tidak bisa dipakai sebagai dalih menerbitkan SP3 dalam penanganan perkara ini. Dia lantas mengutip Pasal 12 Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019.
"Kasus-kasus yang bisa diberi restorative justice adalah kasus yang diberi restorative justice tidak menimbulkan kehebohan, tidak meresahkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak mendapat penolakan dari masyarakat," ungkapnya. "Syarat ini tidak dipenuhi."