Malapetaka kesehatan mengintai dari pecahan asbes
Sudah sekitar lima tahun Nurhayati, 38 tahun, menggunakan asbes sebagai atap di dua kamar di rumahnya. Warga Pedongkelan, Cengkareng, Jakarta Barat itu mengaku, menggunakan asbes sebagai atap cukup praktis dan hemat.
“Tidak banyak biaya, ya,” kata perempuan yang bekerja sebagai asisten rumah tangga ini kepada Alinea.id, Jumat (29/9).
Sedangkan Nurjanah, 48 tahun, yang tinggal tak jauh dari kediaman Nurhayati, mengaku sudah 12 tahun menggunakan asbes untuk atap rumahnya. Serupa Nurhayati, alasan Nurjanah memakai atap asbes juga ekonomi.
“Karena murah, harganya terjangkau,” ujar ibu rumah tangga tersebut, Jumat (29/9).
Memicu kanker paru-paru
Nurhayati dan Nurjanah adalah contoh warga yang memanfaatkan asbes sebagai atap rumahnya. Asbes merupakan serat mineral yang bisa digunakan dalam berbagai ragam industri.
Ada enam jenis asbes, yaitu asbes putih (chrysotile), asbes biru (crocidolite), asbes cokelat (amosite), aktinolit, anthophyllie, dan tremolit. Asbes putih lazim dipakai sebagai atap bangunan.
Di Jakarta, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah bangunan tempat tinggal yang menggunakan atap berbahan asbes mendominasi, yakni 52,10%. Diikuti genting 37,21% dan beton 5,03%.
Padahal, jika pecah paparan debu asbes bisa berisiko pada kesehatan. Menurut dokter spesialis penyakit paru-paru dari Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Malang, Ungky Agus Setiawan, penggunaan asbes bisa berdampak pada kesehatan paru-paru.
“Yang paling banyak (kasus) bisa mesotelioma ataupun kanker paru-paru,” ujar Ungky, Kamis (28/9).
Ia menjelaskan, paparan serat asbes yang patah atau hancur akan berterbangan. Jika terhirup dan masuk ke saluran pernapasan, maka serat asbes akan terperangkap pada paru-paru. Sistem kekebalan tubuh kita tak bisa menghancurkan zat tersebut.
“Lama-lama akan mengendap dan menyebabkan terjadinya proses inflamasi. Kemudian, juga ada release against pro-inflamasi yang sifatnya karsinogenik,” ujarnya.
“Perlu diingat, saat ini kanker paru-paru, keganasan di rongga torak, itu naiknya berlipat-lipat. Bisa lebih dari 200% atau 400%.”
Setelah paparan, prosesnya hingga berisiko mesotelioma atau kanker paru-paru biasanya 40 tahun. Bahkan, ada informasi yang menyebut, efeknya terasa setelah 20-30 tahun usai paparan. World Health Organization (WHO), dijelaskan Ungky, menyatakan semua asbes memiliki sifat karsinogenik.
“Sifat yang bisa menyebabkan kanker,” kata dia.
Namun, dari segala studi yang sudah dipublikasikan, menurut Pungky, belum jelas jenis asbes apa yang paling berisiko menyebabkan kanker paru-paru.
“Asbes itu fiber, grup magnesium hidrat, silica fibrous mineral, yang ditemukan pada lapisan-lapisan yang berhubungan dengan kegiatan seharian kita,” katanya.
“Bisa bahan pembuatan kapal, langit-langit di rumah, partisi, atau ubin kolam renang.”
Jenis asbes yang banyak digunakan masyarakat di Indonesia, sekitar 90%, kata Ungky adalah asbes putih. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3) jenis asbes ini termasuk kriteria B3 yang masih dipakai.
Terpisah, Direktur Local Initiative for Occupational Health and Safety Network (LION) Indonesia—organisasi yang termasuk dalam Indonesia Ban Asbestos Network (INA-BAN), Surya Ferdian mengungkapkan, asbes memiliki material nyaris mirip silika. Ketika material tersebut masuk melalui saluran pernapasan, maka bakal bertahan di paru-paru.
“Satu serat asbes saja, kalau menurut WHO, bisa menjadi pemicu penyakit akibat asbes,” ujar Surya, Rabu (27/9).
“Mulai dari asbestosis, mesotelioma, hingga afeksi pleura.”
Sementara itu, Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anas Ma’ruf mengakui, Kemenkes belum melakukan riset terkait dampak paparan asbes terhadap kesehatan. Namun, dari riset yang sudah dilakukan lembaga lainnya, Anas mengatakan, hal itu menjadi pertimbangan bagi Kemenkes untuk mengambil kebijakan dalam menentukan langkah soal pengurangan dampak kesehatan akibat pecahan asbes.
“Kita tahu juga bahwa asbestos ini merupakan salah satu bahan yang bisa menyebabkan carcinogen grup 1. Sesuai dengan International Association of Research Cancer, dia menyebabkan kanker,” kata Anas, Sabtu (30/9).
“Jadi memang ini menjadi salah satu perhatian kita, tetapi memang kita belum melakukan studi yang khusus dengan asbestos ini.”
Walau menyadari risiko kesehatan dari paparan asbes, Anas menerangkan, pihaknya tak lantas bisa melarang penggunaan asbes di masyarakat. Sebab, asbes relatif tak ditemukan sebagai bahan pada alat kesehatan, tetapi dalam industri. Misalnya, sebagai bahan pembuatan atap, kampas rem, pipa gas, dan kabel.
“Nah, tentu ini berada di kewenangan pihak atau kementerian lain,” tutur Anas.
“Kalau itu berada di wilayah kesehatan, tentu kita bisa melakukan (pelarangan). Contoh, merkuri di alat kesehatan, sudah kita lakukan pencabutan penggunaannya.”
Di samping masyarakat, risiko penyakit akibat asbes paling besar terjadi pada para pekerja yang kerap bersentuhan dengan industri asbes. Ungky mengatakan, kepatuhan pekerja terhadap penggunaan alat pelindung diri (APD) sangat rendah, sehingga paparan asbes cukup tinggi.
Jika paparannya terbilang sering, Ungky menyebut, akan muncul gejala dini pada pasien, berupa bersin-bersin atau batuk-batuk. Lantas, selanjutnya bisa menyebabkan meriang.
“Rata-rata (yang datang ke rumah sakit) sudah muncul penyakit yang ditimbulkan asbestos. Datangnya sudah stadium lanjut,” kata Ungky.
LION Indonesia dan INA-BAN sendiri, kata Surya rajin melakukan advokasi terkait dampak paparan asbes terhadap pekerja. Pada 2010, ujarnya, organisasinya melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap para pekerja di sebuah industri manufaktur asbes untuk sektor otomotif yang ada di Cibinong, Bogor.
“Dari total 25 pekerja yang kami ikut sertakan dalam standar pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit akibat asbes, kami temukan ada 15 pekerja yang punya gangguan paru-paru terindikasi penyakit akibat asbes,” ujar Surya.
Kasus kematian akibat paparan asbes pun tak main-main. Laporan WHO dan International Labour Organization (ILO) pada 2018 menyebut, secara global risiko kematian akibat paparan asbes per tahun mencapai 107.000 hingga 122.000 jiwa.
Sedangkan hasil temuan Sugio Furuya, Odgerel Chimed-Ochir, Ken Takahashi, Annette David, dan Jukka Takala dalam laporan Global Asbestos Disaster (Mei 2018) menyebut, asbes menyebabkan sekitar 255.000 kematian per tahun secara global. Menurut Asbestos and Dust Diseases Research Institute (ADDRI) University of Sydney, kematian akibat penyakit terkait asbes di Indonesia diperkirakan 5.000 jiwa.
Kebutuhan dan solusi
Menurut INA-BAN, sejak 2021 sudah ada 67 negara yang melarang penggunaan asbes. Namun, di Indonesia kebutuhan asbes cukup tinggi. Ungky menyebut, pada 1980 jumlahnya hanya 20 ton.
“Kemudian naik sangat signifikan,” ujarnya.
Dalam laporan BPS Juli 2023, berat impor barang dari batu, semen, asbes, atau mika ke Indonesia mencapai 230.790.829 kilogram, dengan nilai impor 64.118.464 dolar AS.
Surya menuturkan, sebenarnya pemerintah sudah sangat menyadari bahaya paparan asbestos. Karena punya regulasi melarang atau menggunakan asbes secara aman yang diterbitkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1985 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes.
Latar belakang regulasi tersebut, ujar Surya, lantaran pada 1983 Indonesia menandatangani Rotterdam Convention, yang memasukkan asbes biru dalam daftar materi yang memerlukan kesepakatan informasi yang benar bagi semua penjual.
“Jadi, di dunia ini sekarang yang masih boleh diperdagangkan hanya tinggal chrysotile (asbes putih),” kata dia.
“Dan selalu tidak berhasil untuk di-blocking di Rotterdam Convention.”
Padahal, Surya menegaskan, secara ilmiah tak ada bedanya antara asbes putih, biru, dan cokelat. “Dia sama, sifat seratnya sama. Tajamnya sama,” tutur dia.
Menurut Surya, asbes putih masih bisa diperdagangkan di Indonesia lantaran setiap upaya memasukkan jenis asbestos tersebut ke dalam daftar barang yang memerlukan persetujuan informasi sebelumnya (prior information consent) selalu digagalkan lima negara pengekspor asbes dunia.
“Jadi, kaitan geopolitik ekonomi global memang sangat membuat negara-negara yang mengimpor asbes, seperti Indonesia, ‘dipaksa’ untuk terus menerima asbes,” kata dia.
“Tanpa mau mempertanyakan soal tanggung jawab eksportir terhadap barang yang mereka kirimkan ke Indonesia.”
Celakanya lagi, lanjut Surya, pendukung penggunaan asbes menyebarkan berbagai informasi seolah-olah asbes putih tidak terlalu berbahaya. Padahal, ia menyebut, penelitian yang dilakukan tak menggunakan basis data atau subjeknya, semisal mengambil sampel penyakit paru-paru yang diakibatkan paparan asbes putih.
“Kami berposisi bahwa bahayanya tetap sama, dampaknya tetap sama,” ujar dia.
“Karena kami juga terhubung dengan beberapa lembaga riset yang ada di Australia dan Eropa bahwa ini tidak bisa dibedakan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.”
Surya menambahkan, hingga kini Indonesia belum melarang chrysotile. “Masih diperdagangkan antara Indonesia dengan Rusia,” ucapnya.
Di sisi lain, menurut Anas, jika pun harus mengeluarkan peta jalan kebijakan penggunaan asbes, maka harus melibatkan berbagai pihak terkait dengan beberapa pertimbangan. Pertama, perlu visi yang sama, baik pemerintah, swasta, dan asosiasi.
Kedua, perlu melanjutkan riset yang lebih mendalam agar tahu data pasti terkait paparan asbestos pada masyarakat. “Kita perlu juga meningkatkan advokasi dan sosialisasi, terutama kepada masyarakat untuk peningkatan pengetahuan supaya terhindar dari dampak pecahan asbes ini,” tuturnya.
Ia juga menyarankan regulator maupun pelaku industri supaya menggunakan bahan-bahan yang relatif lebih aman, tidak menimbulkan risiko paparan asbestos.
Terlepas dari itu, Ungky mengatakan, masyarakat perlu diberi edukasi tentang risiko pemakaian asbes terhadap kesehatan. Ia pun mengungkap, regulasi penggunaan asbes perlu dibuat oleh pemerintah.
“Kemudian, sebisa mungkin ada zat atau bahan substitusi yang mengurangi (dampak) penggunaan asbes,” kata dia.
Lalu, perlu pula dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, terutama buat orang-orang yang berhubungan langsung dengan asbes. “Screening atau pencegahan itu memang masih belum berjalan dengan bagus di Indonesia,” ujar Ungky.
“Orang yang kerja di pabrik (terkait asbes) pun belum tentu regulasi perusahaan melakukan pemeriksaan (kesehatan) tahunan.”
Terakhir, Ungky menyarankan agar ada ventilasi yang baik untuk rumah-rumah yang terpaksa menggunakan atap asbes atau pabrik-pabrik yang berhubungan dengan asbes. “Supaya debu asbes yang lepas-lepas itu tidak terendap di dalam ruangan dan tak akan terhirup,” tutur Ungky.
Sementara bagi Surya, demi mengurangi risiko penyakit akibat paparan asbes, harus ada pengganti asbes dalam industri manufaktur Indonesia. Beberapa perusahaan telah melakukannya, semisal industri otomotif.
“Untuk kampas rem dan gasket, misalnya, mereka sudah menggunakan serat dari jagung, bambu, dan lain-lain,” ucap Surya.
“Di industri atap juga seperti itu, sudah ada dua perusahaan yang kami ketahui, yang sudah mengganti penggunaan asbes menjadi serat lainnya.”
Surya pun memandang, jika pemerintah serius ingin memulai langkah menghentikan penggunaan asbes, harus ada upaya menaikkan bea masuk dan pajak impor. “Sampai hari ini, importir dan eksportir asbes dari Rusia, yang terbesar di Indonesia, menikmati 0% bea masuk,” tuturnya.
“Uniknya, di negara lain yang masih menggunakan asbes, seperti India atau China, bea masuk asbes raw materials itu dikenakan 10%-15%.”
Selanjutnya, kata Surya, cara melindungi agar serat asbes tak mudah terlepas ke udara ketika patah atau pecah adalah dengan menerapkan tiga lapis pengecatan. “Sehingga debunya terikat,” ujarnya.
“Itu yang paling mungkin bisa dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan asbes bisa berbahaya (jika pecah atau patah).”